![]() |
Mantan Wamenaker Noel. |
Oleh: M. Ikhsan Tualeka
KABAR penangkapan Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer atau Noel oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terasa pahit. Bagi publik, mungkin ini sekadar cerita pejabat yang lagi-lagi terseret kasus hukum.
Namun bagi saya, kabar itu punya makna berbeda: ironi hidup dari seorang yang pernah saya kenal —meski tak begitu dekat, sekaligus potret getir perjalanan seorang aktivis yang menembus kekuasaan, tapi tersandung di jalan berliku.
Saya mengenal Noel ketika sama-sama terlibat atau menginisiasi Muda-Mudi Ahok, inisiatif anak mendorong Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) maju lewat jalur independen dalam perhelatan Pilkada DKI Jakarta 2017.
Gerakan itu akhirnya bubar karena Ahok lebih memilih maju lewat jalur koalisi partai politik. Namun dari situ saya melihat Noel tampil dengan semangat berapi-api, berani ikut melawan arus politik mapan. Ia vokal, bahkan kadang kontroversial. Namun, di balik itu saya melihat idealisme yang kuat.
Saya juga tahu, seperti juga aktivis lainnya di Ibu Kota, jalan hidup Noel tak pernah mudah. Jakarta adalah kota yang keras. Ia pernah jatuh, merasakan getirnya hidup sampai harus menjadi pengemudi ojek online untuk sekadar bertahan.
Itu adalah fase hidup yang mestinya menumbuhkan empati lebih dalam, sekaligus mengingatkan betapa beratnya perjuangan menapaki jalan menuju posisi terhormat di negeri ini, menjadi pejabat negara.
Ketika Noel akhirnya masuk atau mendapat tempat di lingkaran kekuasaan, menjabat Wakil Menteri Ketenagakerjaan, saya bayangkan itu sebagai buah perjalanan dan perjuangan panjang penuh liku. Dari seorang aktivis jalanan, yang sempat hidup pas-pasan, hingga akhirnya masuk kabinet.
Namun, justru di situlah jebakan sesungguhnya. Jabatan membawa fasilitas, protokoler, dan kuasa yang kadang membuat orang lupa daratan.
Kini Noel ditangkap KPK. Apakah benar ia melakukan pemerasan, ataukah ada operasi politik di balik OTT ini, akan kita lihat bersama.
Prinsip praduga tak bersalah harus tetap dikedepankan. Apapun hasilnya nanti, kasus ini memberi pelajaran penting—bukan hanya untuk Noel, tetapi untuk seluruh aktivis yang kini berada di lingkaran kekuasaan, maupun yang bakal masuk kekuasaan.
Aktivis yang Lupa Akar
Banyak kita saksikan, aktivis yang setelah mendapat jabatan justru berubah. Mereka lupa akar perjuangan, lupa hari-hari sederhana yang dulu mereka jalani. Padahal, identitas aktivis bukan bisa dicopot atau dipakai sesuka hati.
Menjadi aktivis itu sesungguhnya adalah panggilan moral, yang seharusnya tetap hidup dan melekat, meski sudah duduk di kursi empuk kekuasaan.
Menjadi pejabat seharusnya tidak membuat seorang berlatar aktivis kehilangan orientasi.
Justru pengalaman di jalanan, bersama rakyat kecil, mestinya menjadi kompas moral untuk memandu diri dalam menjalankan jabatan.
Namun, justru yang seringkali terjadi adalah sebaliknya: jabatan malah menjauhkan mereka dari rakyat, membuat mereka larut dalam fasilitas, lupa darimana mereka berasal. Seakan mereka balas dendam atas kesulitan hidup di masa lalu.
Noel mungkin hanya salah satu contoh. Kasusnya harus menjadi alarm keras bagi aktivis-aktivis lain. Jangan sampai mereka terseret pola yang sama: idealisme tinggi ketika di luar, tapi rapuh begitu berada di dalam.
KPK dan Bayangan Operasi Politik
Di sisi lain, publik juga berhak mengkritisi KPK. Lembaga antirasuah ini lahir dengan harapan besar sebagai benteng melawan korupsi. Namun, kini kerap dipersepsikan lemah, tidak lagi sekuat dulu. Karena itu, setiap langkah dan upaya KPK harus benar-benar transparan dan akuntabel.
OTT terhadap Noel harus dipastikan berjalan dalam koridor dan skema penegakan hukum yang jelas, sehingga tak dipersepsikan sebagai alat politik. Sesuatu yang beralasan, apalagi bila melihat ada pejabat sekelas menteri yang sudah bolak-balik diperiksa aparat penegak hukum malah mandek kasusnya.
Kasus Firli Bahuri mantan Ketua KPK yang sudah jadi tersangka pun hilang ditelan bumi. Itu artinya, bila KPK hanya dianggap instrumen kekuasaan atau kompatriot oligarki untuk menyingkirkan lawan atau mengendalikan sekutu, kepercayaan publik akan semakin runtuh.
Noel mungkin salah langkah, khilaf karena terlena, atau barangkali ia adalah korban. Namun, apapun kebenarannya nanti, kisah ini adalah pengingat pahit bahwa politik Indonesia masih penuh jebakan.
Bahwa garis antara idealisme dan pragmatisme sangat tipis. Bahwa siapapun, bahkan seorang aktivis yang pernah hidup sederhana dan berjuang keras, bisa jatuh bila kehilangan pegangan moral.
Saya tidak menulis ini untuk membela Noel. Saya ingin menekankan bahwa kasus ini adalah refleksi kolektif. Bagi publik, agar tidak cepat melupakan bahwa para pejabat kita adalah manusia dengan segala keterbatasannya.
Bagi aktivis, agar tetap sadar dari mana mereka berasal, dan tidak membiarkan kekuasaan menggerus idealisme. Dan bagi KPK, dan aparat penegak hukum lainnya agar bekerja dengan penuh integritas, sehingga tidak dipersepsikan sebagai tangan kekuasaan dan oligarki.
Noel mungkin akan dikenang dengan kontroversinya, dengan keberaniannya, juga dengan kejatuhannya. Namun, setidaknya kisahnya memberi kita pelajaran: bahwa perjuangan (aktivis) tidak berhenti di jalanan, dan ujian sesungguhnya justru datang ketika seseorang sudah diberi atau berada di dalam lingkaran kekuasaan.
Penulis adalah Pegiat Perubahan Sosial
Sumber: Kompas.com