-->

Berita Terbaru

Subscribe Here!

Enter your email address. It;s free!

Delivered by FeedBurner

Gaji Rp 100 Juta Wakil Rakyat

By On Selasa, Agustus 19, 2025

Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR-DPD RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jumat, 15 Agustus 2025. 

Oleh: Firdaus Arifin

KABAR bahwa anggota Dewan Perwakilan Rakyat menerima take-home pay yang menembus angka seratus juta rupiah per bulan, kembali menampar nurani publik.

Angka itu muncul setelah adanya tambahan tunjangan perumahan yang menggantikan rumah dinas. Dengan tambahan puluhan juta rupiah per bulan, penghasilan wakil rakyat disebut bisa menyentuh Rp 100 juta, setara Rp 3 juta per hari.

Kabar ini segera bergulir menjadi polemik. Media sosial penuh dengan komentar sinis, rakyat berang, dan akademisi geleng kepala.

Angka itu bukan sekadar soal matematika gaji, melainkan simbol jurang yang kian menganga antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakilinya.

Bagaimana mungkin, di tengah harga beras yang terus melonjak, gizi anak yang masih bermasalah, dan rakyat yang kesulitan mengakses pekerjaan layak, para legislator justru tenang duduk di kursi empuk dengan jaminan penghasilan yang tak masuk akal bagi banyak warga?

Polemik gaji wakil rakyat bukanlah cerita baru. Sejak era Orde Baru hingga pasca-Reformasi, isu penghasilan pejabat publik kerap menjadi bahan perdebatan.

Secara resmi, gaji pokok anggota DPR hanya Rp 4,2 juta sesuai PP Nomor 75 Tahun 2000. Angka ini kecil. Namun publik tahu, yang membuat penghasilan mereka gemuk adalah aneka tunjangan: tunjangan jabatan, komunikasi intensif, kehormatan, hingga bantuan listrik dan telepon.

Dulu, polemik soal rumah dinas sempat merebak. Ada anggota DPR yang tak mau menempati rumah dinas, memilih menyewakan, atau malah membiarkan kosong.

Akhirnya, kebijakan bergeser: rumah dinas kini diganti dengan tunjangan perumahan, dengan angka fantastis hingga puluhan juta rupiah per bulan. Di sinilah letak lonjakan yang membuat take-home pay DPR melonjak hingga seratus juta rupiah.

Kisah ini mencerminkan ironi: gaji pokok memang kecil, tapi tunjangan menjadikannya berlipat.

Di situlah sering muncul perasaan tak adil: seolah DPR bukan lagi mewakili rakyat, melainkan mewakili kepentingan kesejahteraan dirinya sendiri.

Realitas Rakyat

Di lapangan, realitas rakyat berbicara lain. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat upah minimum provinsi 2025 rata-rata nasional hanya Rp 3,5 juta per bulan. Bahkan di banyak daerah, upah minimum masih di bawah angka itu.

Seorang buruh pabrik, pekerja informal, atau tenaga kontrak harus berjibaku setiap hari untuk memenuhi kebutuhan hidup yang kian mahal.

Ketimpangan semakin terasa bila kita menengok ke desa-desa. Seorang petani di Indramayu, misalnya, bisa menghabiskan sebulan penuh hanya untuk menghasilkan Rp 2 juta dari panen padi.

Nelayan kecil di pesisir utara Jawa hanya memperoleh Rp 1,5 juta sebulan bila cuaca bersahabat.

Di Nusa Tenggara Timur, banyak keluarga masih kesulitan mengakses air bersih, sementara anak-anak menderita stunting.

Kontraskah? Sangat. Ketika wakil rakyat bisa menikmati Rp 3 juta sehari, banyak rakyatnya justru tak mampu membeli lauk layak setiap hari.

Tentu, ada yang membela. Anggota DPR disebut memiliki tanggung jawab besar: menyusun undang-undang, mengawasi pemerintah, memperjuangkan aspirasi rakyat.

Mereka bekerja tujuh hari seminggu, dengan beban politik, risiko reputasi, bahkan ancaman keamanan.

Benar, tanggung jawab mereka besar. Namun, apakah besar tanggung jawab harus dibayar dengan angka yang melampaui batas rasa keadilan publik?

Sistem demokrasi perwakilan seharusnya menuntut Wakil Rakyat untuk berkorban, bukan berfoya-foya. Tugas legislatif memang berat, tapi ia adalah amanat, bukan ladang penghasilan.

Ada pula argumen bahwa gaji besar akan mengurangi potensi korupsi. Namun, sejarah membuktikan sebaliknya. Tak sedikit anggota DPR yang tetap tersangkut kasus suap dan korupsi meski penghasilan mereka sudah lebih dari cukup.

Artinya, masalahnya bukan sekadar besaran gaji, melainkan integritas moral dan mekanisme akuntabilitas.

Pertanyaan mendasar muncul: apakah para wakil rakyat itu masih bisa merasakan denyut nadi rakyat yang diwakilinya?

Empati seolah kian menipis ketika angka-angka fantastis itu diucapkan tanpa beban di ruang publik. Publik menuntut wakil rakyat untuk lebih rendah hati. Bukan soal menolak gaji, tetapi soal kepekaan.

Andai saja pernyataan tentang gaji seratus juta itu disertai refleksi: bahwa angka itu kontras dengan penderitaan rakyat, bahwa legislator harus bekerja keras membuktikan mereka layak menerima itu, mungkin polemik ini tak akan sebesar sekarang.

Sayangnya, yang terdengar justru pembenaran. Kalimat “cukup bagi kami” melukai nurani rakyat. Bagi rakyat kecil, Rp 100.000 saja bisa menentukan apakah dapur berasap hari itu.

Filsafat politik mengajarkan, legitimasi kekuasaan lahir bukan hanya dari prosedur, melainkan dari moral.

Wakil rakyat yang dipilih sah secara demokratis pun bisa kehilangan legitimasi bila gagal menjaga moralitas publik.

Moralitas bukan sesuatu yang bisa dibeli dengan gaji. Ia lahir dari keadilan, kejujuran, dan pengabdian.

Bila DPR tak lagi merefleksikan kepentingan rakyat, maka angka seratus juta di kursi mereka hanya akan menjadi simbol keserakahan.

Negara yang sehat menempatkan etika di atas materi. Namun, Indonesia seakan terjebak dalam paradoks: gaji wakil rakyat terus meningkat, tetapi indeks korupsi, kualitas legislasi, dan kepercayaan publik terhadap DPR justru menurun.

Apa yang bisa dilakukan? Pertama, DPR harus membuka data penghasilan mereka secara transparan. Komponen gaji, tunjangan, hingga fasilitas harus diungkap tanpa ditutup-tutupi. Transparansi adalah cara untuk mengembalikan kepercayaan publik.

Kedua, perlu mekanisme pengendali independen—semacam komisi etik atau lembaga audit publik—yang bisa mengukur kewajaran tunjangan DPR.

Jangan sampai DPR menetapkan sendiri berapa ia harus dibayar. Itu konflik kepentingan yang nyata.

Ketiga, DPR harus menyadari bahwa legitimasi mereka ditentukan rakyat. Setiap rupiah yang mereka terima berasal dari pajak rakyat, dari keringat buruh, petani, pedagang, dan nelayan. Uang negara bukan milik negara, melainkan uang rakyat yang dititipkan.

Apa yang seharusnya menjadi jalan keluar? Polemik gaji DPR ini seharusnya membuka ruang bagi refleksi kolektif: untuk apa seseorang menjadi wakil rakyat?

Menjadi anggota DPR bukanlah pekerjaan biasa. Ia adalah panggilan. Kursi DPR bukan kursi bisnis, melainkan kursi pengabdian.

Maka, jalan yang layak ditempuh adalah membangun keseimbangan: gaji dan tunjangan cukup untuk hidup layak, tetapi tidak berlebihan sehingga memutus empati pada rakyat.

Kita perlu menegaskan bahwa ukuran kesejahteraan wakil rakyat tidak boleh jauh melampaui kesejahteraan rakyat yang diwakilinya. Angka seratus juta terlalu jauh dari realitas.

Jika tetap dipertahankan, jarak antara rakyat dan wakilnya hanya akan semakin melebar.

Sejarah bangsa ini penuh dengan pengorbanan. Para pendiri republik hidup sederhana, bahkan Bung Hatta terkenal menolak hak pensiun. Ia meninggalkan jejak teladan bahwa kekuasaan bukan jalan memperkaya diri, melainkan mengabdi.

Hari ini, para wakil rakyat kita seolah melupakan ingatan itu. Mereka terjebak dalam kenyamanan kursi dan tunjangan. Padahal, bangsa ini tidak sedang surplus moral. Yang kita butuhkan bukan angka seratus juta, melainkan seratus persen integritas.

Ingatan akan pengorbanan para pendiri bangsa seharusnya menjadi cermin bahwa kekuasaan tanpa moral hanyalah panggung sandiwara.

Polemik gaji seratus juta anggota DPR bukan sekadar soal angka. Ia adalah cermin tentang bagaimana republik ini memandang kekuasaan, keadilan, dan pengabdian.

Rakyat boleh marah, boleh kecewa. Di balik itu, ada harapan: semoga polemik ini menjadi tamparan, agar wakil rakyat kembali ke fitrah tugasnya.

Agar kursi yang mereka duduki bukan sekadar kursi empuk dengan gaji ratusan juta, tetapi kursi yang penuh tanggung jawab moral untuk membela rakyat.

Karena pada akhirnya, gaji besar tanpa kepekaan hanyalah angka kosong. Yang membuat wakil rakyat benar-benar mulia bukan seratus juta di slip gaji, melainkan seratus persen keberpihakan kepada rakyat.


Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat


Sumber: Kompas.com

Memerdekakan Jalan dari Penjajahan Sunyi

By On Minggu, Agustus 17, 2025

Spanduk larangan parkir mobil di jalanan Kampung Bulak Macan RW 022, Harapan Jaya, Bekasi Utara. 

Oleh: Edy Suhardono 

SETIAP pagi, di banyak pemukiman kelas menengah di kota-kota besar, sebuah tarian canggung dipertontonkan. Mobil hendak keluar dari gerbang rumahnya, tapi lajunya terhenti. Dari arah berlawanan, mobil lain hendak masuk. Keduanya tak bisa bergerak.

Penyebabnya adalah "mobil-mobil sang raja"—kendaraan yang berjejer angkuh di kedua sisi jalan, mereduksi lebar jalan yang seharusnya bisa dilalui dua lajur menjadi lorong sempit untuk satu kendaraan saja.

Ada klakson pelan yang dibunyikan sebagai kode, ada lambaian tangan yang menyiratkan "silakan duluan", ada pula helaan napas panjang dari pengemudi yang merasa paginya sudah terganggu.

Pemandangan ini begitu jamak sehingga kita cenderung memakluminya sebagai kewajaran urban, ketidaknyamanan kecil yang harus diterima.

Namun, jika kita berhenti sejenak dan merefleksikannya, kita akan sadar bahwa ini bukanlah sekadar gangguan minor.

Ini adalah gejala dari penyakit sosial yang lebih dalam: sebuah krisis etos, pemahaman yang terdistorsi tentang hak, dan pengkhianatan terhadap makna kemerdekaan itu sendiri.

Premis dasarnya sederhana, tapi menusuk: fenomena mobil tanpa garasi yang memakan badan jalan bukanlah masalah ketiadaan lahan, melainkan krisis tanggung jawab.

Ini adalah manifestasi fisik dari egoisme ruang yang tumbuh subur di tengah masyarakat yang merayakan kebebasan individual tanpa menginternalisasi kewajiban komunal.

Ketika setiap meter persegi aspal publik dianggap sebagai lahan parkir pribadi yang gratis, kita tidak sedang menyaksikan solusi kreatif atas keterbatasan lahan, melainkan erosi nilai-nilai fundamental yang menopang kota yang beradab.

Data dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menunjukkan pertumbuhan kepemilikan kendaraan yang masif pasca-pandemi, indikator kemajuan ekonomi. Namun, kemajuan ini menjadi ironis ketika tidak diimbangi dengan kemajuan cara berpikir.

Badan PBB untuk pemukiman, UN-Habitat, dalam laporannya seringkali menekankan bahwa kualitas hidup di perkotaan sangat bergantung pada kualitas ruang publik yang dapat diakses secara adil (INRIX. (2022).

Ketika jalanan yang seharusnya menjadi arteri kehidupan kota justru tersumbat oleh properti pribadi yang "diparkir", kita secara kolektif sedang menurunkan kualitas hidup kita sendiri.

Masalahnya kini bukan lagi "di mana harus parkir?", melainkan "sudah benarkah pemahaman kita tentang hak dan ruang bersama?".

Merampas Hak dan Keadilan Ruang

Jalanan di depan rumah kita, sejatinya, bukanlah perpanjangan dari properti pribadi kita. Ia adalah ruang publik.

Seperti yang digagas dalam disertasi Muzwar Irawan (2014) berjudul “Makna Ruang Publik Kota (Studi Kasus: Lapangan Karebosi di Kota Makassar)” yang dimuat di jurnal Nalars, 13(1), ruang publik bukanlah sekadar ruang fisik yang kosong, melainkan arena kultural dan politik tempat hak-hak warga bertemu dan bernegosiasi.

Ketika mobil diparkir permanen di badan jalan, pemiliknya secara sepihak telah mengklaim hak yang bukan miliknya.

Ia telah merebut hak pejalan kaki untuk berjalan dengan aman di bahu jalan, hak anak-anak untuk memiliki ruang gerak yang lebih leluasa, hak tetangga untuk mengakses rumahnya tanpa halangan, dan yang terpenting, hak kendaraan darurat seperti ambulans atau pemadam kebakaran untuk lewat dengan cepat.

Ini adalah bentuk pelanggaran terhadap keadilan ruang (spatial justice). Kelas menengah yang kritis terhadap kemacetan di jalan raya seringkali buta terhadap ketidakadilan yang mereka ciptakan sendiri di depan rumah mereka.

Mereka menuntut pemerintah menyediakan infrastruktur yang lebih baik, tetapi gagal menyediakan hal paling mendasar: tidak merampas infrastruktur yang sudah ada untuk kepentingan pribadi.

Kemerdekaan yang kita rayakan setiap tahun bukanlah kemerdekaan untuk mengambil apa yang bukan milik kita. Kemerdekaan sejati justru terletak pada kemampuan untuk menahan diri dan menghormati hak orang lain atas ruang yang kita gunakan bersama.

Membiarkan jalanan bebas dari parkir liar adalah tindakan sederhana yang menegaskan bahwa kita memahami esensi dari hidup berkomunitas. Masalah ini melampaui sekadar isu sosial; ia adalah cerminan dari rendahnya kewarganegaraan ekologis (ecological citizenship).

Konsep ini, seperti yang diwujudkan dalam studi di Kampung Gambiran, Yogyakarta (Haryanto, J. T. (2020) yang ditulis di Jurnal Pemikiran Sosiologi 7(2), mengajarkan bahwa tanggung jawab kita sebagai warga negara tidak berhenti pada sesama manusia, tetapi meluas hingga ke lingkungan tempat kita tinggal.

Mobil yang terparkir di jalan tidak hanya memakan ruang. Ia menghalangi sistem drainase, menyebabkan genangan saat hujan. Ia mempersulit petugas kebersihan untuk menyapu jalan, membiarkan debu dan sampah menumpuk yang pada akhirnya mencemari udara dan tanah.

Deretan mobil yang terpanggang di bawah sinar matahari turut menyumbang pada efek pulau bahang perkotaan (urban heat island), membuat lingkungan sekitar menjadi lebih panas.

Kita mungkin bangga memiliki mobil baru yang mengkilap, tetapi kita seringkali buta terhadap jejak ekologis yang ditinggalkannya, bahkan saat ia diam. Kita menuntut udara bersih, tetapi berkontribusi pada polusi mikro di lingkungan kita sendiri. Kita mengeluhkan banjir, tetapi ikut andil dalam menyumbat saluran air.

Kemerdekaan sejati adalah bebas dari egoisme ruang yang merusak. Ia adalah kesadaran bahwa trotoar, selokan, dan aspal jalan merupakan bagian dari ekosistem urban yang rapuh.

Menjaga fungsi-fungsi ekologis ini adalah bentuk tanggung jawab kewarganegaraan yang paling nyata, langkah kecil untuk memastikan kota kita tetap layak huni bagi generasi mendatang.

Jebakan Prestise Konsumtif Semu

Mengapa fenomena ini begitu meluas? Jawabannya terletak pada perspektif sosial-budaya kita terhadap kepemilikan mobil.

Seperti yang dianalisis oleh Dr. Yannes Martinus Pasaribu, M.Sn (Kompas, 22/7/2022) dari ITB, di Indonesia, mobil seringkali bukan lagi sekadar alat transportasi fungsional, melainkan telah berevolusi menjadi simbol status, penanda kesuksesan, dan validasi sosial.

Dorongan untuk diakui sebagai bagian dari kelas menengah yang "berhasil" seringkali lebih kuat daripada pertimbangan logis tentang kebutuhan dan kapasitas.

Akibatnya, banyak orang memaksakan diri membeli mobil tanpa memikirkan konsekuensi paling mendasar: di mana mobil itu akan "tidur" di malam hari.

Inilah kemerdekaan yang semu, kemerdekaan konsumtif yang menjebak kita dalam perlombaan prestise tanpa akhir. Kita merasa "merdeka" karena mampu membeli mobil, tetapi pada saat yang sama kita memenjarakan diri kita dan tetangga kita dalam ketidaknyamanan dan konflik sosial.

Tulisan ini secara khusus ditujukan kepada kita, kelas menengah penikmat pembangunan, untuk merefleksikan kembali makna sukses. Apakah sukses itu diukur dari apa yang bisa kita pamerkan di pinggir jalan, atau dari kontribusi kita dalam menciptakan lingkungan hidup yang nyaman dan adil?

Kemerdekaan yang sejati bukanlah kebebasan untuk mengonsumsi tanpa batas, melainkan kesadaran untuk memilih secara bertanggung jawab, dengan mempertimbangkan dampak sosial dari setiap pilihan pribadi kita.

Bela Negara dari Tepi Jalan

Dalam konteks urbanisasi yang pesat, makna bela negara pun harus diperluas. Bela negara hari ini bukan hanya tentang mengangkat senjata, tetapi tentang partisipasi aktif warga dalam menjaga stabilitas sosial dan kelestarian lingkungan (Kusumastuti & Khoir, 2019).

Ketika kita membiarkan parkir liar merajalela, kita secara tidak langsung sedang menggerogoti ketertiban sosial. Kita menciptakan potensi konflik antarwarga, menumbuhkan sikap apatis terhadap aturan, dan melemahkan rasa kebersamaan.

Kesadaran berbangsa dan bernegara mendorong kita untuk menjaga harmoni. Menjaga harmoni di tingkat mikro—di gang pemukiman kita—adalah fondasi dari harmoni di tingkat makro.

Dengan memastikan mobil kita memiliki garasi, kita tidak hanya menjadi tetangga yang baik, kita sedang melakukan tindakan bela negara. Kita membela hak publik, menjaga kelestarian lingkungan mikro, dan memperkuat tatanan sosial.

Kemerdekaan untuk menikmati hasil pembangunan harus diimbangi dengan kesadaran untuk menjaga fondasi negara ini, yang salah satunya adalah keteraturan dan rasa hormat dalam kehidupan bersama.

Pada akhirnya, solusi atas masalah "mobil-mobil sang raja" ini tidak hanya terletak pada penegakan Perda oleh pemerintah. Ia berakar pada pendidikan dan kesadaran.

Sebagaimana studi di Kampung Bekelir yang berhasil mengubah perilaku warga melalui pendidikan kewarganegaraan berbasis komunitas, kita pun perlu mendidik diri kita sendiri.

Kita perlu memulai percakapan di lingkungan RT/RW, saling mengingatkan dengan empati, dan bersama-sama mencari solusi.

Kemerdekaan sejati adalah kemerdekaan yang aktif, yang mau terlibat dan bertanggung jawab dalam menjaga ruang hidup bersama.

Sudah saatnya kita memerdekakan jalanan kita dari egoisme pribadi, dan mengembalikannya pada fungsinya sebagai milik publik, demi kota yang lebih adil, lestari, dan manusiawi untuk semua.


Penulis adalah Peneliti & Assessor pada IISA Assessment Consultancy & Research Centre


Sumber: Kompas.com

Mengucapkan Selamat dan Turut Merayakan Hari Bersejarah Ini

By On Sabtu, Agustus 16, 2025

 


Oku Selatan, KabarViral79.Com - Di usia yang semakin matang ini, mari kita jadikan momentum untuk terus bergerak maju, mewujudkan Indonesia yang lebih makmur dan berkeadilan. Semoga mimpi besar Indonesia Emas 2045, di mana bangsa kita genap berusia satu abad, bisa menjadi kenyataan yang membanggakan, Sabtu, (16/8/2025).

Delapan puluh tahun kemerdekaan adalah buah dari perjuangan tanpa henti. Kita mengenang dan menghormati para pahlawan yang telah mengorbankan jiwa dan raga untuk merebut serta mempertahankan kedaulatan. Mereka adalah simbol nyata dari semangat persatuan dan keberanian yang berhasil mengusir penjajah. Perjuangan mereka tidak berhenti saat proklamasi dibacakan, melainkan terus berlanjut hingga kini sebagai tonggak bagi kita semua.

Semangat heroik ini sejalan dengan amanat konstitusi kita, Pasal 30 ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan: “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.” Pasal ini bukan hanya sekadar kalimat, tetapi sebuah pengingat bahwa menjaga kedaulatan bangsa adalah tanggung jawab kita bersama.

Ini adalah tongkat estafet perjuangan yang harus kita pegang erat, bukan hanya melalui senjata, tetapi juga melalui kontribusi nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Lantas, bagaimana kita melanjutkan perjuangan itu? Jawabannya ada di tangan kita semua, dari berbagai lapisan masyarakat.

Bagi pelajar dan mahasiswa, perjuangan adalah dengan belajar keras dan berprestasi, menciptakan inovasi yang memajukan bangsa.

Bagi para profesional, perjuangan adalah dengan bekerja jujur, membangun ekonomi, dan menciptakan lapangan kerja.

Bagi setiap warga negara, perjuangan adalah dengan menjaga toleransi, menghormati keberagaman, dan turut serta menjaga ketertiban umum.

Di usia ke-80 ini, Indonesia berdiri di persimpangan jalan menuju masa depan. Kita memiliki modal besar berupa sumber daya alam melimpah, keragaman budaya yang kaya, dan bonus demografi yang menjanjikan.

Namun, kita juga menghadapi tantangan, seperti disinformasi, polarisasi, dan isu global lainnya. Untuk menghadapinya, kita perlu bersatu, bergotong royong, dan memupuk rasa cinta tanah air.

“Mari bersama-sama melanjutkan perjuangan para pahlawan dengan karya nyata, demi terwujudnya Indonesia yang berdaulat, maju, adil, dan sejahtera.”

By: IIN

Pesan dari Pati untuk Indonesia

By On Kamis, Agustus 14, 2025

Massa yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Pati Bersatu berunjuk rasa di depan Kantor Bupati Pati, Kabupaten Pati, Jawa Tengah (Jateng), Rabu, 13 Agustus 2025. 

Oleh: Ari Junaedi

Di mana bumi dipijak, di situ rakyat dipajak 

Ada pesan-pesan keresahan dari rakyat di belahan Tanah Air manapun yang merasa telah “menitipkan” perjuangan pada warga Pati.

Perjuangan warga Pati seakan ikut “menyuarakan” kesumpekkan warga di manapun yang kini tengah mengalami kekecewaan dengan “Sudewo-Sudewo” lain.

Warga Kota Malang, Jawa Timur pun sedang kesal. Beberapa waktu lalu, karnaval di Mulyorejo, Sukun, Kota Malang, diwarnai kericuhan antara warga dan peserta karnaval akibat suara sound system yang terlalu keras, mengganggu warga yang sedang sakit.

Warga Kota Malang mengaku kecewa dengan sikap aparat yang abai terhadap kenyamanan warga yang telah membayar pajak selama ini.

Kenaikan PBB-P2 usai disahkannya Peraturan Daerah (Perda) Kota Malang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dari 0,055 menjadi 0,2 persen atau hampir 4 kali lipat pasti akan memberatkan warga (Ketik.com, 13 Agustus 2025).

Warga Kota Cirebon yang terinspirasi dengan langkah perjuangan warga Pati, juga berencana turun ke jalan mengingat PBB juga melonjak hingga 1.000 persen.

Kenaikan “yang gila-gilaan” tersebut merujuk Perda Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak dan Retribusi. Paguyuban Pelangi Cirebon menilai kebijakan itu sangat memberatkan masyarakat dan tidak masuk akal.

Di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah warga juga dikagetkan dengan kenaikan PBB hingga 400 persen. Warga Kecamatan Ambarawa yang bisanya membayar pajak PBB Rp 160.000 di tahun kemarin, kini melonjak menjadi Rp 872.000 (Detik.com, 12 Agustus 2025).

Sementara di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, warga melakukan “perlawanan” saat membayar tagihan PBB-P2 yang melonjak dengan menggunakan uang koin.

Sengaja pembayar pajak memperlihatkan upayanya menggunakan uang tabungan milik anaknya untuk membayar pajak Rp 1,2 juta dari sebelumnya yang Rp 300.000 di Kantor Bapenda Jombang (Kompas.com, 12/08/2025).

Aksi-aksi penolakan pembayaran kenaikan pajak diperkirakan akan masif terjadi di berbagai daerah.

Gerakan perlawanan Aliansi Masyarakat Pati Bersatu harus diakui menjadi “pemantik” dari perlawanan lokal terhadap kebijakan kenaikan pajak yang tidak bijak.

Bisa dibayangkan di saat rakyat tengah gunda gulana karena kesulitan mencari lapangan pekerjaan di tengah semakin maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK), semakin tingginya angka kriminalitas akibat pengangguran; timpangan penghasilan yang menimbulkan kecemburuan sosial; harga sembako yang semakin menggila dengan takaran yang rawan disalahgunakan; korupsi yang semakin merajalela setelah sebelumnya ramai dengan kejadian pemblokiran tabungan oleh PPATK dan kontroversi perampasan tanah, maka kenaikan pajak menjadi klimaks dari kejengahan rakyat terhadap kepengapan saat ini.

Saya khawatir jika Presiden Prabowo Subianto dan para pembantunya tidak tepat dalam mengambil langkah antisipatif dan pengambilan keputusan, aksi demonstrasi besar di Pati akan berlanjut dan terus bermunculan di berbagai daerah.

Kejadian Pati, Cirebon, Semarang, Jombang dan daerah lain adalah miniatur dalam skala kecil seperti fenomena "Arab Spring".

Fenomena jatuhnya pemerintahan akibat Arab Spring seperti rangkaian peristiwa revolusi dan protes yang terjadi di negara-negara Arab pada awal tahun 2010-an.

Protes yang bermula dari aksi bakar diri Mohamed Bouazizi di Tunisia menjadi pemicu awal gelombang protes di seluruh wilayah Tunisia.

Akibatnya, Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali berhasil ditumbangkan setelah berkuasa selama lebih dari dua dekade.

Dari Tunisia, gelombang protes terus menjalar ke negara-negara Arab lainnya menuntut perubahan politik dan sosial, termasuk demokrasi, hak asasi manusia, dan perbaikan ekonomi.

Beberapa pemerintahan seperti di Mesir, Libya, Yaman dan Suriah berhasil digulingkan sebagai akibat dari gelombang protes ini, sementara yang lain mengalami perubahan signifikan dalam sistem politik.

Sebagai Presiden, Prabowo harus meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk tidak “ngotot” memperlakukan rakyat sebagai sapi perahan pajak.

Kepada Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Prabowo harus menegaskan kembali tugas pokok dan fungsinya untuk mengawasi pemerintahan daerah.

Keberadaan dua wakil menteri di Kementerian Dalam Negeri harusnya mempunyai fungsi dan tugas yang terukur.

Pelaksanaan retreat kepala daerah yang memakan biaya besar ternyata tidak berdampak pada pola pikir kepala daerah.

Kepada Kepolisian dan aparat TNI, Prabowo sebaiknya memerintahkan untuk tetap mengedepankan langkah humanis nir kekerasan dalam mengatasi aksi-aksi unjuk rasa.

Para pengunjuk rasa bukanlah musuh negara. Mereka tengah memperjuangkan perutnya, kehidupannya agar terus hidup di tengah kesulitan hidup yang semakin berat.

Dan terakhir selaku Ketua Umum Partai Gerindra tempat afiliasi politik Bupati Pati Sudewo, dibutuhkan sikap Prabowo untuk mendorong partainya mendukung pemakzulan yang dikehendaki rakyat Pati.

Upaya menjaga nama baik Gerindra di mata pemilih tidak boleh kalah karena ulah seorang Sudewo. Harga Gerindra terlalu mahal bagi kepongahan Sudewo.

Bisa jadi pembelajaran dari Pati menjadi titik awal Prabowo untuk melakukan reshuffle terhadap kabinetnya.

Isi kabinet pemerintahan sekarang terlalu gemoy dan kerap membuat gaduh yang tidak perlu serta hanya mendegradasi komitmen Prabowo dalam upaya mensejahterakan rakyat.

Tanah subur tapi hidup tak makmur

Di neg'riku Indonesia

Tambang emas, intan permata

Tapi entah siapa yang punya

Kerja berat, peras k'ringat, banting tulang

Pontang-panting dari berdiri sampai nungging

Tapi mengapa masih banyak rakyat miskin?

Apa harus budi daya kalajengking? – (Lirik lagu “Kalajengking” oleh Pujiono)


Penulis adalah Akademisi dan konsultan komunikasi


Sumber: Kompas.com

Dari Samin ke Sudewo: Pajak, Arogansi, dan Perlawanan

By On Rabu, Agustus 13, 2025

Bupati Pati, Sudewo

Oleh: Dawam Pratiknyo

DI TENGAH gemuruh modernitas dan janji-janji pembangunan, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, justru menyajikan ironi yang mendalam.

Teriakan protes rakyat bergema, menggugat kebijakan yang tidak adil: kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sebesar 250 persen.

Fenomena ini bukan sekadar persoalan fiskal biasa. Ia adalah cerminan dari kegagalan dialog, arogansi kekuasaan, dan pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip keadilan sosial yang seharusnya menjadi landasan pemerintahan demokratis.

Untuk memahami mengapa kenaikan pajak ini begitu menyakitkan, kita harus menengok kembali ke akar sejarah perlawanan di tanah Jawa.

Lebih dari seabad lalu, seorang petani bernama Samin Surosentiko menggerakkan ribuan petani melawan kebijakan pajak dan kerja rodi kolonial Belanda.

Ajaran Samin sederhana, tapi revolusioner: tanah adalah milik bersama, bukan milik penguasa.

Perlawanannya bukan dengan senjata, melainkan dengan penolakan membayar pajak kepada pemerintah yang tidak adil.

Semangat ini, yang dikenal sebagai Sedulur Sikep, mengajarkan bahwa ketaatan buta bukanlah jalan menuju keadilan. Sebaliknya, kewaspadaan rakyat adalah pilar utama bagi negara yang sehat.

Kenaikan PBB-P2 di Pati seolah membangkitkan kembali memori pahit tersebut. Rakyat Pati, yang mayoritas adalah petani dan pedagang kecil, kini merasa seperti leluhur mereka di bawah penjajahan.

Beban pajak yang mendadak melambung 250 persen di tengah kondisi ekonomi yang sulit adalah pukulan telak. Ini bukan sekadar angka di atas kertas, melainkan ancaman nyata terhadap kelangsungan hidup rakyat.

Sebagaimana yang diungkapkan Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi, kebijakan pajak seharusnya disesuaikan dengan kemampuan masyarakat, bukan justru membebani. Di sinilah letak ironi terbesar: pemimpin lokal, yang seharusnya menjadi pelayan rakyat, justru membuat kebijakan yang seolah meniru cara-cara kolonial.

Gagalnya Dialog dan Stigmatisasi Protes

Masalah di Pati bukan hanya terletak pada besaran angka pajak, tetapi juga pada proses penetapannya.

Kenaikan drastis ini, menurut pengakuan banyak pihak termasuk DPRD Pati sendiri, dilakukan tanpa kajian yang matang dan sosialisasi memadai.

Pemerintah seolah-olah menganggap rakyat sebagai objek kebijakan, bukan subjek yang berhak didengar suaranya.

Ketika rakyat Pati bersiap untuk menyuarakan ketidakadilan ini melalui demonstrasi, respons pemerintah justru menunjukkan semakin jauhnya jarak antara penguasa dan yang dikuasai.

Alih-alih membuka ruang dialog, pemerintah justru mengambil langkah-langkah represif.

Penyitaan logistik demo, seperti air mineral kemasan yang dikumpulkan dari donasi warga, adalah tindakan yang tidak hanya sewenang-wenang, tetapi juga memperlihatkan ketakutan kekuasaan terhadap suara rakyat.

Retorika provokatif Bupati Pati, Sudewo, yang mempersilahkan untuk mengerahkan 50.000 orang pedemo, bukanlah tantangan, melainkan penghinaan terhadap hak konstitusional warga untuk berpendapat.

Tuduhan bahwa aksi protes “ditunggangi pihak tertentu” adalah narasi klasik yang sering digunakan penguasa untuk mendiskreditkan gerakan rakyat.

Narasi ini mengabaikan kemurnian aspirasi warga yang hanya ingin mendapatkan keadilan dan perlakuan layak dari pemimpin mereka. Ini adalah bukti bahwa demokrasi di Pati sedang diuji, dan sayangnya, di ambang kegagalan.

Inovasi vs Beban: Mencari Jalan Keluar

Argumen pemerintah bahwa kenaikan pajak diperlukan karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pati yang rendah – hanya 14,5 persen dari APBD – sesungguhnya menunjukkan kegagalan dalam mencari solusi inovatif.

Mengapa beban pembangunan harus dipikulkan sepenuhnya kepada rakyat kecil melalui pajak yang mencekik? Mengapa tidak ada upaya serius untuk menggali potensi lain, seperti menarik investasi atau mengoptimalkan sektor pariwisata yang kaya di Pati?

Wakil Ketua DPRD Pati, Bambang Susilo, telah mengingatkan bahwa pajak bukan satu-satunya jalan. Ada banyak cara lain untuk meningkatkan PAD tanpa harus membebani masyarakat.

Pendekatan ini disebut sebagai keadilan distributif, di mana pembangunan harus dibiayai secara adil, bukan hanya dengan membebankan pajak kepada rakyat yang paling rentan.

Negara yang sehat seharusnya mencari sumber daya dari berbagai sumber, bukan hanya dari kantong rakyat kecil.

Di sinilah kearifan Samin Surosentiko kembali relevan. Ajaran “hidup hanya mampir minum, tapi jangan sakiti yang memberi air” adalah pengingat yang kuat bagi para pemimpin.

Rakyat adalah “pemberi air”, sumber kehidupan bagi keberlanjutan sebuah daerah. Melukai rakyat dengan kebijakan yang tidak adil sama dengan memutus mata air kehidupan itu sendiri.

Jalan keluar dari polemik ini bukan lagi sekadar persoalan teknis, melainkan persoalan etika dan moral kepemimpinan.

Pemerintah Pati perlu mengambil langkah-langkah konkret untuk memperbaiki kerusakan yang telah terjadi.

Pertama, pernyataan Bupati Sudewo untuk membatalkan kenaikan pajak harus diimplementasikan dengan transparansi penuh.

Kedua, dialog dengan masyarakat harus dibuka secara jujur dan terbuka. Pemerintah harus mendengarkan aspirasi rakyat sebelum membuat kebijakan, bukan setelahnya.

Kedua, dialog dengan masyarakat harus dibuka secara jujur dan terbuka. Pemerintah harus mendengarkan aspirasi rakyat sebelum membuat kebijakan, bukan setelahnya.

Ketiga, pemerintah harus bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk dunia usaha dan akademisi, untuk mencari sumber pendapatan lain yang lebih berkelanjutan dan tidak membebani rakyat.

Keempat, melibatkan tokoh-tokoh lokal dalam dialog adalah langkah penting untuk menyembuhkan luka sejarah dan membangun kepercayaan.

Rakyat Pati tidak anti-pajak. Mereka mengerti bahwa pajak adalah kewajiban untuk membangun daerah.

Namun, rakyat menolak ketidakadilan yang dibungkus dengan kebijakan, menolak kesombongan kekuasaan yang lebih suka menantang daripada mendengar.

Mereka mewarisi semangat Samin, menolak tunduk ketika kebijakan yang dibuat salah.

Sejarah tidak akan mencatat kata-kata di ruang pers, melainkan tindakan nyata. Jangan sampai permintaan maaf ini hanya menjadi tameng pencitraan, sementara rakyat tetap dibebani pungutan tak adil.

Ujian kepemimpinan sejati bukan di depan kamera, tetapi di meja kebijakan. Rakyat Pati tidak butuh permintaan maaf, rakyat Pati butuh keadilan yang menyembuhkan luka.

Penulis adalah Konsultan di Charta Politika Indonesia


Sumber: Kompas.com

Menyelamatkan SPMB dari Kepungan Mafia Sekolah

By On Senin, Juli 07, 2025

Foto Ilustrasi SPMB. 

Oleh: Dwi Munthaha

BARU-BARU ini, publik dikejutkan oleh tindakan Wakil Ketua DPRD Provinsi Banten yang kedapatan memberikan rekomendasi pribadi agar seorang calon siswa diterima di SMA negeri melalui jalur di luar mekanisme resmi.

Kepada media, ia berdalih bahwa tindakannya semata-mata didorong oleh rasa belas kasihan. Namun publik mafhum, praktik semacam ini bukanlah hal baru dan terjadi di banyak daerah.

Setiap tahun, momen penerimaan siswa baru kerap dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki otoritas dan akses kekuasaan untuk berbagai kepentingan—terutama kalangan politisi yang menjadikannya sebagai instrumen elektoral: menitipkan nama demi simpati, balas budi, atau pengaruh.

Kali ini, karena kasus tersebut terlanjur tersorot publik, Partai Keadilan Sejahtera sebagai partai asal sang politisi mengambil langkah tegas dengan mencopotnya dari jabatan struktural. Namun di luar sorotan, siapa bisa menjamin praktik serupa tak terus berulang?

Pada tahun ini, pemerintah melalui Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Permendikdasmen) Nomor 3 Tahun 2025 tentang Sistem Penerimaan Murid Baru Kementerian Pendikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mengubah penamaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menjadi Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB).

Ada sedkit modifikasi jalur penerimaan untuk jalur yang dulunya disebut zonasi berubah menjadi domisili.

Di atas kertas, sistem ini adalah instrumen negara untuk menjalankan mandat konstitusional: memastikan setiap anak memperoleh hak atas pendidikan yang layak dan bermutu.

Namun di lapangan, proses penerimaan siswa baru juga menjadi panggung utama ketegangan sosial, kecemasan kelas menengah, dan ladang subur praktik manipulatif yang seakan sulit dilacak kasatmata.

Di sinilah realitas pendidikan dasar dan menengah kita tampak begitu kompleks. Ketika negara menyatakan bahwa pendidikan dasar dan menengah adalah mandatori, maka seharusnya ia menjamin ketersediaan akses dan kualitas secara merata.

Sayangnya, data menunjukkan ketimpangan struktural yang belum juga teratasi. Pada tahun 2024, Badan Pusat Statistik khusus pendidikan menengah, sekitar 4,4 juta siswa lulus dari jenjang SMP.

Namun, daya tampung SMA dan SMK negeri di seluruh Indonesia hanya sekitar 2,7 juta siswa. Selebihnya harus mencari tempat di sekolah swasta - yang tidak selalu terjangkau secara ekonomi- atau bahkan berhenti melanjutkan pendidikan sama sekali. Maka wajar bila proses SPMB menjadi medan pertarungan keras antara harapan dan kenyataan.

Evolusi Seleksi yang Tak Pernah Selesai

Dalam sejarah pendidikan Indonesia, mekanisme seleksi masuk sekolah negeri telah melalui banyak fase.

Di masa Orde Baru hingga awal reformasi, seleksi sangat bergantung pada Nilai Ebtanas Murni (NEM).

Sistem ini menciptakan stratifikasi ekstrem: siswa dengan nilai tinggi berbondong-bondong ke sekolah unggulan, sementara siswa dengan nilai lebih rendah masuk ke sekolah “kelas dua”.

Dampaknya, kualitas sekolah semakin timpang dan mobilitas sosial menjadi kian sulit.

Kritik atas sistem ini menguat pada pertengahan 2010-an. Pemerintah kemudian memperkenalkan kebijakan zonasi melalui Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017 dan diperkuat dengan Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019.

Tujuan zonasi adalah membongkar stigma sekolah unggulan dan menciptakan pemerataan akses, dengan menempatkan siswa di sekolah terdekat dari tempat tinggal mereka.

Namun, niat baik ini segera berhadapan dengan kenyataan sosial yang rumit. Lemahnya sistem tata kelola di negara ini memberi celah beberapa cara curang: pemalsuan domisili, surat keterangan miskin, sertifikat prestasi mulai diperjualbelikan seperti barang dagangan. Meski saat ini sudah ada dengan payung regulasi nasional, kewenangan untuk pendidikan menjadi domain daerah.

Oleh sebab itu pula kepala daerah membuat regulasi turunan yang setiap daerah dapat bervariasi bentuknya. Beberapa daerah, seperti Jawa Barat mengikuti regulasi pusat secara menyeluruh, tapi tetap adaptif dengan konteks lokalnya.

Di Jawa Barat, bahkan diterapkan tes literasi dan numerasi berbasis komputer untuk jalur prestasi (rapor, kejuaraan akademis dan nonakademis), sebagai bentuk seleksi yang lebih objektif dan sulit dimanipulasi.

Namun, perubahan administratif ini belum menjawab persoalan utama: keterbatasan daya tampung sekolah negeri dan mudahnya sistem dimanipulasi dari luar.

Manipulasi Pasca Pengumuman

Yang paling mencemaskan dari sistem ini justru bukan terletak pada tahap seleksi terbuka, tetapi pada fase pasca pengumuman.

Ketika sistem seleksi resmi ditutup, nama-nama telah diumumkan, dan daftar siswa diterima dipublikasikan secara daring, maka publik mengira proses telah selesai.

Kenyataannya tidak. Di balik layar, sejumlah sekolah menambahkan jumlah kelas dan rombongan belajar (rombel) baru tanpa dasar regulasi yang jelas. Penambahan ini tidak selalu melalui keputusan dinas, apalagi sepengetahuan publik.

Dalam praktiknya, inilah jalur belakang yang disebut orang tua sebagai “titipan”, “jatah pejabat”, atau “koneksi”. Modus operandi mafia SPMB tidaklah rumit. Mereka menambahkan siswa di luar kuota resmi, biasanya menjelang tahun ajaran baru dimulai.

Caranya adalah dengan menyisipkan siswa ke dalam rombel tambahan yang seolah-olah dibuka karena kebutuhan teknis. Padahal, jika kita cermati data Dapodik (Data Pokok Pendidikan), jumlah siswa dan rombel pada sebuah sekolah seharusnya sesuai dengan hasil seleksi formal.

Ketidaksesuaian antara data resmi hasil SPMB dan jumlah riil siswa dalam Dapodik adalah petunjuk pertama bahwa sistem telah disusupi. Sayangnya, Dapodik bukanlah sistem yang terbuka bagi publik secara luas. Transparansi data belum menjadi kebiasaan institusional. Hal ini memberi ruang gelap bagi manipulasi data yang tidak bisa dikontrol oleh masyarakat.

Dalam banyak kasus, kepala sekolah, oknum dinas pendidikan, bahkan aktivis LSM, ormas, oknum jurnalis hingga anggota legislatif daerah diduga dapat terlibat dalam praktik semacam ini.

Mereka memanfaatkan celah administratif untuk “memainkan” satu atau dua rombel demi memasukkan siswa-siswa titipan. Pertanyaan penting yang harus diajukan dalam kondisi seperti ini adalah: siapa yang sebenarnya diuntungkan?

Jelas bukan anak dari keluarga miskin yang menggantungkan nasib pada jalur afirmasi. Juga bukan anak yang sungguh-sungguh berprestasi, yang nilai rapornya murni, atau yang lolos tes dengan jujur.

Yang diuntungkan adalah mereka yang memiliki akses terhadap jaringan kekuasaan, atau memiliki kapasitas ekonomi untuk membayar “biaya tambahan” demi satu kursi di sekolah negeri.

Di sisi lain, yang paling dirugikan adalah sistem pendidikan itu sendiri. Integritas sekolah negeri terkikis. Kepercayaan masyarakat melemah. Dan yang lebih gawat, siswa-siswa yang diterima secara tidak resmi membawa serta warisan kecurangan ke dalam ruang kelas—sebuah pesan sunyi bahwa sistem bisa dibengkokkan, asal punya koneksi dan uang.

Saatnya Transparansi Jadi Standar Baru

Saat ini, tantangan kita bukan hanya membenahi sistem SPMB di tahap seleksi, melainkan juga mengawasi dan mengamankan fase pasca-seleksi.

Pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, harus mendorong seluruh pemerintah daerah untuk membuka dashboard Dapodik secara publik.

Masyarakat harus bisa mengakses dan membandingkan jumlah siswa yang diterima melalui jalur resmi dan jumlah yang benar-benar tercatat di sistem.

Lebih dari itu, dibutuhkan audit sosial yang serius dan berkala terhadap semua sekolah negeri. Keterlibatan lembaga seperti BPKP, Ombudsman, dan bahkan KPK perlu dipertimbangkan dalam konteks tertentu.

Mafia SPMB bukan sekadar cerita nakal tahunan. Fenomena ini adalah bagian dari jaringan pembusukan sistemik yang harus diputus sejak sekarang.

Pada akhirnya, kursi di sekolah negeri bukan sekadar tempat duduk. Kursi itu adalah simbol hak anak atas pendidikan yang adil dan bermartabat.

Ketika kursi tersebut dirampas oleh kepentingan politik, ekonomi, atau jaringan kekuasaan, maka kita sedang merusak sendi-sendi paling dasar dari keadilan sosial.

SPMB adalah cermin dari wajah pendidikan kita hari ini. Dan jika kita tak berani membersihkan cermin itu, maka anak-anak kita akan tumbuh dalam sistem yang mengajarkan bahwa koneksi lebih penting daripada kompetensi.

Bahwa keadilan hanya berlaku bagi yang mampu membayarnya. Dan itu, adalah kekalahan paling menyakitkan bagi bangsa yang percaya bahwa pendidikan adalah fondasi peradaban.


Penulis adalah Anggota Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI), Alumnus Sekolah Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional

My Day or My Die?

By On Kamis, Juni 19, 2025

 


Banten, KabarViral79.Com - Setiap 1 Mei, kita diajak merayakan Hari Buruh Internasional. Tapi bagaimana mungkin kami merayakan, ketika hingga hari ini, 14 buruh masih menjadi tersangka pasca aksi damai di Jakarta? Alih-alih merdeka bersuara, mereka justru ditarik ke ruang-ruang hukum yang membuat demokrasi tampak seperti hiasan kosong.

Penetapan 14 buruh sebagai tersangka usai aksi damai memperingati Hari Buruh Internasional (May Day) di depan Gedung DPR/MPR Jakarta pada 1 Mei 2025 menuai kecaman luas.

Aksi damai. Bukan perusakan. Bukan kekerasan. Tapi hingga hari ini, mereka harus berhadapan dengan proses hukum yang panjang dan mengintimidasi. Negara kembali menunjukkan wajahnya yang represif terhadap suara rakyat.

Sebagai mahasiswa, saya merasa terpanggil menyuarakan ketidakadilan ini. Aksi yang dilakukan oleh para buruh adalah bentuk penyampaian pendapat yang sah dan dijamin oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998. Namun nyatanya, suara mereka dibungkam dengan ancaman pidana.

Alih-alih berdialog, negara memilih represif. Penetapan tersangka terhadap para buruh menunjukkan wajah hukum yang tidak netral. Hal ini sejalan dengan pernyataan Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) yang menyebut proses hukum ini sebagai bentuk kriminalisasi kebebasan berpendapat.

Penetapan 14 buruh sebagai tersangka menciptakan ketakutan baru di tengah publik, terutama bagi kelompok-kelompok masyarakat yang hendak menyampaikan kritik atau aspirasi. Jika praktik seperti ini terus dibiarkan, maka ia akan menjadi preseden yang membahayakan masa depan demokrasi di Indonesia.

Harus ada langkah nyata untuk mencabut semua tuduhan yang menyesatkan ini dan menghentikan praktek serupa di masa mendatang. Kita semua, mahasiswa, pekerja, hingga rakyat biasa, wajib bersolidaritas agar suara buruh bukan sekadar slogan, dan agar hari buruh yang kita rayakan kelak benar-benar bermakna.

Karena diam adalah pengkhianatan, dan keberanian dimulai dari suara yang tidak disenyapkan.

Oleh: Siti Saffa Al-Diya, Mahasiswa Administrasi Publik Untirta

Mencari Obat Mujarab Atas LHP BPK 2023–2024 Bidang Pendidikan di Provinsi Banten

By On Selasa, Juni 10, 2025

 


Banten, KabarViral79.Com - Salah satu Indikator Kinerja Utama (IKU) Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan adalah peningkatan mutu pendidikan. Hal ini dapat diukur melalui berbagai pendekatan, seperti peningkatan hasil belajar siswa dan peningkatan kompetensi guru. Namun, pencapaian indikator ini menjadi tanda tanya besar ketika kita mencermati hasil Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI Perwakilan Banten tahun 2024 terhadap Dinas Pendidikan Provinsi Banten—belum lagi jika kita menengok kembali LHP tahun-tahun sebelumnya yang juga menjadi perhatian serius Gubernur Banten.

Dari rincian penyerapan dana BOS tahun 2024, diketahui bahwa sekitar 99,53% dana digunakan untuk belanja pengadaan barang/jasa dan belanja modal. Hal ini mengindikasikan minimnya alokasi anggaran untuk program peningkatan mutu siswa dan kompetensi guru. Padahal, setiap tahunnya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan turut memverifikasi ARKAS atau DPA sekolah sebagai prasyarat pencairan dana BOS. Artinya, semestinya terdapat ruang untuk mengarahkan sekolah agar tidak sekadar menyalin dokumen tahun sebelumnya, melainkan menyusun perencanaan yang proporsional dan terarah, dengan porsi anggaran yang memadai untuk pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan mutu pendidikan.

Perlu ada penguatan pada pembinaan verifikator BOS yang ditunjuk, agar proses monitoring, revisi, dan verifikasi dapat berjalan optimal. Dari sinilah awal peningkatan mutu pendidikan dapat dimulai. Tanpa perbaikan menyeluruh di proses ini, maka kesalahan yang sama akan terus berulang dari tahun ke tahun.

Salah satu sorotan penting dalam LHP BPK RI 2024 adalah minimnya pemahaman terhadap juklak dan juknis BOS, seperti yang ditemukan di SMAN 2 Kota Serang, di mana hampir separuh dana BOS digunakan untuk konsumsi. Di sekolah lain, ditemukan praktik yang menyimpang, seperti peminjaman perusahaan oleh kepala sekolah dan penetapan harga tanpa mengacu pada SSHBJ. Meski BPK dalam laporannya menyarankan agar Dindikbud mengusulkan SSH khusus untuk belanja BOS, hal ini sebenarnya tidak akan menjadi masalah jika pengelolaan dana BOS dilakukan secara wajar dan sesuai aturan.

Kita tidak boleh hanya berfokus pada fakta bahwa kerugian daerah telah dikembalikan ke kas negara. Perlu dilihat lebih dalam—apa motifnya? Apakah betul dana miliaran rupiah, yang kabarnya lebih dari Rp10 miliar dalam NHP dan LHP, benar-benar telah dikembalikan seluruhnya? Masih ada satuan pendidikan yang belum menyelesaikan pengembalian tersebut.

Persoalan ini bukan hanya disebabkan oleh kelalaian kepala sekolah di tingkat SMA, SMK, dan SLB Negeri, melainkan juga terkait dengan manajemen dana BOS di tingkat Dindikbud Banten. Instansi ini seharusnya menjadi pembimbing sekaligus pengarah agar tidak terjadi penyimpangan yang dapat berdampak pada kerugian keuangan daerah.

Sebagai bentuk tanggung jawab, sebaiknya Gubernur Banten segera memerintahkan kepala dinas, atau Plt. Kepala dinas, bahkan menetapkan kepala dinas definitif, untuk segera melakukan langkah-langkah evaluatif sebagai berikut:

* Pilih SDM manajemen BOS di level Dindikbud Banten yang punya karakter perbaikan ke arah yang lebih baik, kompeten, dan mempunyai kualifikasi serta track record positif.

* Evaluasi dengan mendalam, bila perlu lakukan audit investigatif, Riksus terhadap sekolah2 yang ada dalam LHP BPK 2024 dan tambah sample sekolahnya di audit tersebut.

* Evaluasi juga manajemen BOS pada Dindikbud Banten dengan hal yang serupa seperti di sekolah.

* Fungsikan KCD sebagai perwakilan Pemerintah Provinsi Banten pada dinas Pendidikan dan Kebudayaan diwilayah kota dan kabupaten yang selama ini seakan akan tidak jelas tupoksi dengan cara supervisi kembali oleh kepala dinas secara mendalam dan melekat supaya kebijakan dan keputusannya tidak over laping jangan sampai urusan remeh temeh kepala sekolah urusan surat keterangan yang sifatnya administratif saja harus kedinas .jadikan KPA untuk Bos.

* Evaluasi MKKS karena legal standingnya tidak ada dipermendikbud dan kegiatannya salah kaprah terkadang dimeriahkan tidak berujung pada mutu hanya sebatas komunitas ditatanan sekolah lebih baik mengedepankan organisasi yang legal standingnya jelas yaitu Musyawarah Guru Mutu Pelajaran (MGMP) harusnya MKKS mendorong kegiatan kegiatan MGMP secara kualitatif dengan cara salah satunya guru untuk ikut kompetensi.

Saran dan masukan ini tentu jauh dari kata sempurna, tapi paling tidak; sebagai warga Banten tentu punya mimpi dan harapan agar Banten menjadi Provinsi Maju, selaras dengan Visi Misi dan Tagline Gubernur dan Wakil Gubernur Banten [Bang Andra & Mr. Dim] “*Banten Adil Merata tidak Korupsi*”

Penulis: Adung Lee, Ketua LSM Karat

Fakta Seleksi RSUD Labuan & Cilograng; Kekecewaan di Bungkus Kritik, Narasi Asbun Dikedepankan

By On Minggu, Mei 04, 2025

 


Banten, KabarViral79.Com - Publik Banten kembali disuguhkan tontonan yang lebih mirip sinetron murahan ketimbang kritik yang konstruktif. Ramainya pemberitaan soal dugaan kecurangan pada rekrutmen pegawai RSUD Labuan dan Cilograng jelas tidak berdiri di atas dasar fakta utuh dan berimbang. Narasi yang dibangun hanya mengandalkan satu sisi opini, penuh prasangka, serta tidak menyebutkan satu pun identitas pelapor, apalagi bukti hukum yang valid. Ini bukan kritik, ini agitasi emosional.

Proses seleksi berbasis Computer Assisted Test (CAT) yang diterapkan merupakan bentuk dari upaya objektivitas dan akuntabilitas. Penambahan nilai afirmasi berdasarkan domisili adalah kebijakan afirmatif yang diatur secara eksplisit dalam juknis, dan diterapkan untuk mendorong distribusi tenaga kesehatan ke daerah yang membutuhkan. Bahwa terjadi interpretasi atas juknis tersebut, tidak otomatis berarti manipulasi, apalagi skandal.

Perlu digarisbawahi: masa sanggah masih berjalan. Jadi, mengapa pihak-pihak tertentu memilih berteriak di media ketimbang menempuh jalur resmi sanggahan administratif? Ini menimbulkan kecurigaan bahwa yang bersuara lantang justru adalah pihak-pihak yang tidak lolos, dan sekarang sibuk membangun narasi playing victim. Titipan yang gagal masuk sistem, jangan dijadikan peluru untuk membakar integritas panitia.

Lucunya, narasi berita menyoroti NIK seseorang, padahal NIK bukan indikator tunggal domisili administratif terkini. Banyak warga yang berdomisili Pandeglang atau Lebak tapi belum mengubah NIK-nya. Validasi domisili dilakukan berlapis melalui dokumen KK, surat keterangan RT/RW, dan data Dukcapil. Jadi kalau hanya mengandalkan tiga digit awal NIK, itu sama saja menghakimi pakai feeling, bukan fakta.

Seruan-seruan agar rekrutmen dibatalkan justru menunjukkan ketidakpahaman terhadap regulasi. Proses pembatalan pengumuman bukan perkara ucapan, melainkan melalui pembuktian formal, audit, dan pelaporan resmi ke KASN atau Ombudsman. Tapi sampai sekarang, tidak ada laporan resmi yang masuk—hanya drama di media. Mengkritik boleh, asal paham hukum dan prosedur.

Patut dicurigai bahwa pemberitaan yang penuh emosi ini sarat dengan motif politis atau bentuk tekanan tertentu. Sering kali, kegagalan satu dua kandidat menjadi pemantik fitnah berjamaah yang merusak reputasi institusi. Bila semua rekrutmen diganggu dengan cara seperti ini, maka tidak ada satu pun sistem yang akan pernah bisa dipercaya, bahkan oleh pelakunya sendiri.

Perlu disampaikan pula bahwa proses seleksi ini tidak hanya diawasi panitia lokal, tetapi juga berkoordinasi dengan instansi pusat yang menangani sistem seleksi nasional. Jika ada dugaan pelanggaran, mekanisme klarifikasi dan sanggahan selalu terbuka. Maka, tidak perlu membakar opini publik dengan narasi manipulatif yang berpotensi menyulut ketegangan horizontal antardaerah.

Kritik yang membangun akan menyebutkan nama, bukti, dan jalur hukum yang ditempuh. Tapi jika hanya menyebar keresahan tanpa data konkret, itu namanya fitnah intelektual. Apalagi jika datang dari organisasi yang mengklaim mewakili mahasiswa atau pemuda, tapi bicara tanpa metodologi. Mahasiswa seharusnya mengedepankan logika, bukan logat politis.

Kami mendukung penuh transparansi dan evaluasi, tapi jangan jadikan ruang sanggah sebagai panggung sandiwara. Jika ada yang merasa dirugikan, silakan tempuh mekanisme sanggah secara resmi. Tapi jangan menyeret rekrutmen ke dalam pusaran kegaduhan politik dan kepentingan kelompok. Itu sama saja merusak sistem yang dibangun dengan susah payah.

Kepada panitia rekrutmen dan Dinas Kesehatan Provinsi Banten, kami dorong untuk tetap teguh, terbuka, dan bersih dalam proses ini. Klarifikasi terbuka perlu dilakukan, tapi bukan karena takut teriakan liar, melainkan demi menjaga integritas dan martabat pelayanan publik. Kepada para “pengkritik”, gunakan otak sebelum mulut, dan gunakan jalur hukum sebelum memfitnah.

Narasi sepihak yang disebarkan tanpa bukti sahih adalah bentuk pembunuhan karakter terhadap institusi. Jika kebiasaan membentuk opini publik tanpa dasar hukum ini terus dipelihara, maka bukan hanya seleksi RSUD yang akan terancam, tapi juga masa depan tata kelola birokrasi yang sehat.

Ironisnya, pihak yang paling lantang bicara soal keadilan justru menolak menggunakan mekanisme yang sah untuk mencapainya. Mereka memilih panggung media daripada meja klarifikasi. Sikap ini bukan keberanian, tapi kemalasan intelektual yang membahayakan budaya hukum dan akuntabilitas.

Biarkan proses sanggah berjalan sesuai ketentuan. Jika ada pelanggaran, kita lawan bersama. Tapi jika hanya karena kecewa kalah lalu menyebar tuduhan, maka kekecewaan itu bukan aspirasi rakyat—itu hanya ambisi pribadi yang dibungkus dengan topeng moralitas semu.

Oleh; Malik Fathoni.SH.,M.Si (Aktifis pemerhati kebijakan Publik dan Politik)

Disparitas Pendidikan di Bawah Kewenangan Kementerian Pendidikan serta Kementerian Agama: Sebuah Potret Ketimpangan

By On Kamis, Mei 01, 2025

 


Banten, KabarViral79.Com - Pendidikan merupakan fondasi utama dalam membangun sumber daya manusia yang unggul dan berdaya saing. Di Indonesia, pengelolaan pendidikan dilakukan oleh tiga kementerian utama: Kementerian Pendidikan Dasar dan menengah (kemendikdasmen), Kementrian Pendidikan Tinggi sains dan teknologi (kemendikti sainstek) dan serta Kementerian Agama (Kemenag). Secara umum, Kemendikdasmen membawahi sekolah umum, sementara Kemenag mengelola madrasah, termasuk madrasah swasta dan negeri. Namun, dualisme kewenangan ini menimbulkan tantangan tersendiri, terutama dalam hal pemerataan kualitas pendidikan, penyediaan infrastruktur, dan kesejahteraan guru.

Salah satu isu utama dalam sistem pendidikan Indonesia adalah ketimpangan kualitas antara sekolah umum yang berada di bawah Kemendikdasmen dan madrasah yang dikelola oleh Kemenag. Dalam banyak kasus, sekolah umum mendapatkan perhatian lebih dalam hal pengembangan kurikulum, pelatihan guru, serta alokasi anggaran. Sebaliknya, madrasah terutama yang berstatus swasta sering kali tertinggal karena keterbatasan dukungan pemerintah.

Beberapa indikator menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di madrasah swasta masih belum optimal. Misalnya, masih banyak madrasah swasta yang belum memenuhi standar nasional pendidikan baik dari sisi kelengkapan kurikulum, kompetensi guru, maupun hasil belajar peserta didik. Sementara sekolah umum secara berkala mendapatkan program peningkatan mutu, banyak madrasah harus berjuang sendiri dengan dana terbatas.

Keterbatasan dalam pelatihan guru juga menjadi masalah besar. Guru di sekolah umum cenderung memiliki akses yang lebih luas terhadap pelatihan dan pengembangan profesional dibandingkan dengan guru di madrasah. Hal ini berdampak pada kemampuan pedagogis dan profesionalisme tenaga pendidik yang berimbas langsung pada proses pembelajaran.

Selain kualitas pendidikan, ketimpangan infrastruktur antara sekolah umum dan madrasah juga menjadi sorotan utama. Sekolah-sekolah negeri umumnya memiliki gedung yang lebih layak, laboratorium yang memadai, serta fasilitas pendukung lain seperti perpustakaan, ruang komputer, dan sarana olahraga. Di sisi lain, banyak madrasah swasta yang masih menggunakan ruang kelas darurat, minim fasilitas, bahkan ada yang menggunakan rumah pribadi sebagai ruang belajar.

Kondisi ini mencerminkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap pembangunan infrastruktur di madrasah. Program rehabilitasi atau pembangunan ruang kelas baru yang digulirkan oleh pemerintah melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) sering kali lebih memprioritaskan sekolah umum. Sementara madrasah swasta harus mengandalkan dana swadaya atau donasi dari masyarakat.

Kesenjangan ini tentu mempengaruhi kualitas pembelajaran. Anak-anak yang belajar di lingkungan dengan fasilitas minim cenderung mengalami hambatan dalam mengakses informasi dan pengalaman belajar yang optimal. Ini juga berdampak pada motivasi belajar dan kenyamanan siswa selama di sekolah.

Salah satu aspek paling mencolok dari disparitas pendidikan ini adalah kesejahteraan guru, terutama guru madrasah swasta. Banyak dari mereka yang mengabdikan diri dengan gaji yang jauh dari layak, bahkan di bawah upah minimum. Tidak sedikit guru madrasah swasta yang hanya menerima gaji Rp. 150.000 per bulan jumlah yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar bahkan untuk ongkos saja tidak mencukupi.

Situasi ini sangat kontras dengan kondisi guru PNS di sekolah negeri yang mendapatkan gaji pokok, tunjangan kinerja, dan berbagai insentif lainnya. Guru madrasah swasta, selain gaji kecil, juga sering kali tidak mendapatkan jaminan sosial, seperti BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Mereka mengajar dengan semangat dan dedikasi tinggi, namun tanpa jaminan kesejahteraan dari negara.

Upaya untuk memperbaiki kondisi ini memang ada, seperti program sertifikasi guru yang memberikan tunjangan profesi. Namun, akses terhadap program ini masih terbatas dan tidak merata, terutama bagi guru madrasah swasta yang status kelembagaannya tidak sepenuhnya diakui dalam sistem Kemendikdasmen maupun Kemenag.

Madrasah, terutama yang dikelola secara swasta, sangat bergantung pada bantuan dari pemerintah dan masyarakat. Namun, daya dukung dari pemerintah masih sangat terbatas. Bantuan operasional sekolah (BOS) untuk madrasah sering kali lebih kecil dibandingkan dengan sekolah umum. Selain itu, pencairannya pun tidak selalu tepat waktu, yang menghambat operasional sekolah.

Kelemahan dalam manajemen dan koordinasi antara lembaga terkait juga menambah permasalahan. Banyak madrasah swasta yang tidak memiliki akses langsung kepada sumber daya yang seharusnya tersedia bagi lembaga pendidikan. Ini termasuk akses ke pelatihan, pengembangan kurikulum, maupun program digitalisasi pendidikan.

Padahal, madrasah memiliki potensi besar dalam mencetak generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kuat secara spiritual dan moral. Dengan kombinasi antara pendidikan umum dan keagamaan, madrasah bisa menjadi model pendidikan yang holistik jika mendapatkan perhatian dan dukungan yang memadai dari pemerintah.

Untuk mengatasi ketimpangan ini, diperlukan langkah-langkah konkret dan berkelanjutan dari pemerintah:

Kesatu, Peningkatan Anggaran Pendidikan untuk Madrasah.

Pemerintah perlu menambah alokasi anggaran untuk madrasah, baik negeri maupun swasta, agar bisa meningkatkan kualitas pembelajaran dan infrastruktur.

Kedua, Kesetaraan Akses Pelatihan bagi Guru.

Guru di madrasah harus mendapatkan akses yang setara terhadap pelatihan dan pengembangan profesional.

Ketiga, Standarisasi Kesejahteraan Guru.

Harus ada regulasi yang menjamin kesejahteraan minimal bagi semua guru, termasuk guru madrasah swasta.

Keempat, integrasi Sistem Pendidikan.

Perlu ada koordinasi lebih baik antara Kemendikdasmen dan Kemenag untuk mengintegrasikan kebijakan dan program pendidikan agar tidak terjadi tumpang tindih dan disparitas.

Kelima, Penguatan Lembaga Pengawas dan Evaluasi.

Pemerintah harus memiliki mekanisme evaluasi yang transparan dan objektif terhadap kondisi pendidikan di bawah kedua kementerian.

Selanjutnya, Disparitas pendidikan di bawah kewenangan Kemendikbudristek dan Kemenag merupakan tantangan besar dalam mewujudkan pendidikan yang merata dan berkeadilan di Indonesia. Tanpa intervensi serius dan komprehensif, ketimpangan ini akan terus berlanjut dan menciptakan jurang sosial yang semakin lebar. Sudah saatnya pemerintah memperlakukan semua lembaga pendidikan secara adil dan proporsional, termasuk madrasah swasta, demi masa depan generasi bangsa yang lebih cerah dan merata.

Oleh : Nasrullah, S.IP (Ketua Departemen Pendidikan Dasar dan Informal Pengurus Besar Mathla’ul Anwar)

PT ABM BUMD Rusak! Transaksi Fiktif Minyak Goreng dan Proses Penetapan Tersangka Adalah Puncak Gunung Es Korupsi Terstruktur di Banten

By On Jumat, April 25, 2025

 


Banten, KabarViral79.Com - PT Agrobisnis Banten Mandiri (ABM), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) milik Pemprov Banten, kembali membuat malu rakyatnya sendiri. Kali ini, bukan karena kerugian usaha biasa, tapi karena terlibat dalam transaksi minyak goreng fiktif yang nilainya mencapai miliaran rupiah. Skandal ini menjadi tamparan keras atas carut-marutnya tata kelola BUMD yang dibiarkan tanpa pengawasan ketat.

Transaksi ini terjadi pada 17 Februari 2025 dengan menggunakan nomor Purchase Order ABM 1702202501035. PT ABM disebut membeli 300.000 kilogram (300 ton) minyak goreng CP10 dari PT Karyacipta Argomandiri Nusantara (KAN), yang diklaim diproduksi oleh PT Multi Nabati Asahan (MNA). Yang lebih mencurigakan, metode pembayaran yang digunakan adalah Cash Before Delivery (CBD), sistem yang semestinya hanya dipakai dalam kondisi transaksi terpercaya dan terverifikasi. Tapi kepercayaan ini justru dibalas dengan fiktif belaka!

LSM JAMBAKK telah melakukan investigasi lapangan dan menemukan fakta mencengangkan. Tidak ada tangki penyimpanan minyak goreng CP10 di Kecamatan Ciwandan, Kota Cilegon, sebagaimana diklaim dalam dokumen transaksi. Bahkan pihak PT MNA, sebagai produsen, tidak bisa menunjukkan bukti transaksi maupun distribusi barang kepada PT KAN atau PT ABM.

Tidak ditemukan dokumen pengiriman (delivery order), bukti serah terima barang, atau truk distribusi yang biasanya menyertai pengadaan sebesar itu. Indikasi ini memperkuat dugaan bahwa seluruh proses adalah rekayasa untuk mengalirkan dana secara ilegal. Dengan estimasi harga pasar Rp15.000 – 17.000/kg, potensi kerugian negara bisa mencapai Rp4,5 – 5,1 miliar.

Transaksi ini ditandatangani oleh Plt. Direksi PT ABM berinisial YU, yang sampai saat ini belum memberikan klarifikasi resmi. Tindakan tersebut berpotensi melanggar Pasal 2 dan 3 UU Tipikor dengan ancaman 20 tahun penjara, karena terbukti memperkaya diri atau orang lain dengan menyalahgunakan kewenangan jabatan.

Ini bukan kebodohan administratif. Ini kejahatan yang direncanakan. Tidak ada kajian kelayakan bisnis, tidak ada dasar investasi yang sah, dan tidak ada transparansi dari PT ABM sejak awal. Justru dari investigasi internal, ditemukan bahwa PT ABM pernah tersangkut kasus penyimpangan dana investasi tahun 2023 dan sejak 2022 tidak pernah diaudit independen.

Kasus ini mengingatkan kita pada skandal PT Riau Airlines, di mana direktur utamanya dijatuhi vonis 8 tahun penjara karena transaksi fiktif pengadaan avtur senilai Rp27 miliar. Kalau hukum berlaku adil, maka aktor-aktor dalam kasus PT ABM juga harus diseret ke meja hijau!

Gubernur Banten tak boleh terus berlindung dalam diam. Rakyat menuntut tindakan nyata. Ini bukan hanya kasus korupsi biasa, tapi simbol rusaknya moral birokrasi daerah. DPD Gerakan KAWAN Provinsi Banten mendesak audit forensik terhadap seluruh keuangan PT ABM, pembekuan operasional, serta pemeriksaan menyeluruh terhadap semua direksi dan pihak ketiga yang terlibat.

Sebagai bentuk keseriusan dan progres positif, Feriyana, Ketua Umum LSM JAMBAKK yang merupakan pelapor kasus ini, telah memenuhi panggilan resmi Kejaksaan Tinggi Banten pada 25 April 2025 dan melengkapi seluruh keterangan serta dokumen pendukung. Hal ini menandakan bahwa proses hukum telah dimulai secara resmi, dan dengan penuh keyakinan publik, penetapan tersangka terhadap pejabat BUMD terkait tinggal menunggu waktu.

DPD Gerakan KAWAN Provinsi Banten siap mendukung langkah hukum ini sepenuhnya. Karena jika kita terus diam, maka kita mengizinkan korupsi merajalela dan menghancurkan masa depan anak cucu kita di Banten. TIKUS-TIKUS BERSERAGAM INI HARUS DIBURU, DIADILI, DAN DIHUKUM SEBERAT-BERATNYA!

Oleh: Nurhasan – (Ketua DPD Gerakan KAWAN Provinsi Banten)

Manuver Politik di Balik Kursi Kedua: Ketika Wakil Menggugat Garis Komando

By On Rabu, April 23, 2025

 


Banten, KabarViral79.Com - “Urang Pandeglang mah ulah kabablasan lamun keur meunang posisi, kudu bisa mikacermin jeung nyaho diri.”

(Urang Pandeglang jangan sampai kebablasan ketika mendapat posisi, harus bisa bercermin dan tahu diri.)

Petuah lokal ini agaknya mulai ditinggalkan, terutama oleh mereka yang tengah menikmati kekuasaan. Di Banten, kursi kedua—yang seharusnya menjadi simbol loyalitas dan dukungan terhadap kepemimpinan utama—kini justru menjadi panggung manuver politik yang mengusik tatanan birokrasi. Wakil Gubernur Banten, Dimyati Natakusumah, yang berasal dari tanah Pandeglang, tampil seolah pemimpin utama dan menggugat garis komando yang seharusnya tegak lurus.

Alih-alih memperkuat posisi gubernur, Dimyati tampak sibuk membangun panggungnya sendiri. Dalam berbagai forum, baik resmi maupun informal, ia mengambil alih narasi, tampil percaya diri seolah-olah pemegang kendali penuh atas pemerintahan. Ini bukan sekadar pelanggaran etika birokrasi, melainkan sinyal kuat bahwa Dimyati tengah merancang strategi menuju Pilgub 2029—dengan gaya kepemimpinan yang cenderung menyerobot kewenangan.

Gaya “overlapping” ini menimbulkan keresahan internal. Ketika wakil mulai bertindak seperti gubernur, maka birokrasi kehilangan arah. Garis perintah menjadi bias, kebijakan tumpang tindih, dan pelayanan publik berpotensi terganggu. Pegawai negeri dibuat bingung: harus taat pada siapa?

Situasinya diperparah dengan isu masuknya gerbong ASN dari Kabupaten Pandeglang—basis politik Dimyati—ke lingkup strategis Pemprov. Ini bukan mutasi biasa, tapi lebih menyerupai infiltrasi. Seolah-olah ada upaya membentuk klan kekuasaan di tubuh birokrasi, yang pada akhirnya mencederai prinsip meritokrasi dan profesionalisme aparatur.

Jika ini dibiarkan, maka birokrasi tidak lagi netral. ASN akan terseret dalam orbit loyalitas politik, bukan profesionalisme kerja. Ini sangat membahayakan kredibilitas pemerintahan, terlebih di masa ketika publik menuntut transparansi dan integritas.

Dimyati mungkin merasa sedang memainkan langkah catur politik yang cerdas. Namun rakyat Banten tak mudah dikelabui. Mereka tahu, ini bukan soal visi pembangunan, melainkan soal ambisi kekuasaan. Politik kursi kedua yang menggugat kursi utama hanya akan merusak harmoni dan efektivitas pemerintahan.

Secara akademik, fenomena ini adalah bentuk political overreach, ketika seorang pejabat melampaui batas konstitusional demi kepentingan elektoral pribadi. Ini bukan hanya keliru secara etik, tapi juga memperlihatkan kegagalan dalam memahami peran sebagai wakil.

Banten tak butuh perebutan kuasa di internal kepemimpinan. Banten butuh kerja nyata dan sinergi. Jika kursi kedua justru sibuk menjegal dan mencari sorotan, maka yang menjadi korban adalah rakyat.

Sudah waktunya elite politik Banten angkat bicara. Jangan tunggu stabilitas pemerintahan benar-benar runtuh akibat ambisi pribadi yang disamarkan dalam slogan. Jangan biarkan petuah kearifan lokal Pandeglang hanya jadi hiasan, tanpa makna di dunia nyata.

Oleh: Akhmad Hakiki Hakim, SHI

(Aktivis Pemerhati Kebijakan Publik dan Politik)

Skandal Kepemimpinan Bayangan: Dinas Pariwisata Banten Digenggam Orang Rumah

By On Minggu, April 20, 2025

 


Banten, KabarViral79.Com - Pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel semestinya menjadi fondasi dalam menjalankan roda organisasi perangkat daerah. Namun, apa jadinya jika institusi publik justru dikendalikan oleh sosok yang tidak memiliki kewenangan formal? Dugaan kuat mencuat bahwa Plt. Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Banten, Linda Rohyati Fatimah, membiarkan sang suami, Didit, menjadi “sutradara bayangan” dalam mengatur berbagai kegiatan strategis di OPD tersebut.

Sejumlah pengusaha lokal mengeluhkan sulitnya bersaing secara sehat dalam proses pengadaan maupun kerja sama program di Disparprov. Mereka mengaku dipersulit bahkan ‘dipinggirkan’ karena tidak masuk dalam skenario yang telah dirancang oleh kekuasaan informal yang tidak kasatmata namun sangat berpengaruh. Hal ini tentu menyalahi prinsip good governance dan melukai iklim usaha yang seharusnya dijaga netral dan profesional oleh pemerintah.

Lebih ironis, fenomena ini berpotensi melanggar aturan hukum. Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Pasal 17 menyebutkan bahwa pejabat pemerintahan dilarang menyalahgunakan wewenang, serta dilarang melakukan perbuatan yang menimbulkan konflik kepentingan. Sementara dalam PP No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS, Pasal 3 huruf f menyebutkan bahwa setiap PNS wajib menjaga netralitas dan tidak memihak kepada kepentingan pribadi, keluarga, golongan, atau pihak lain.

Informasi yang dihimpun dari internal Dinas Pariwisata menyebutkan bahwa terjadi gesekan hebat antar bidang di tubuh OPD tersebut. Ketidaknyamanan bukan sekadar soal teknis, namun menyangkut kultur kerja yang tak sehat dan suasana psikologis pegawai yang penuh tekanan. Situasi ini diperparah oleh gaya kepemimpinan yang dianggap tidak memberi arahan yang tegas, melainkan justru tunduk pada intervensi dari pihak luar.

Yang menarik dan patut dipertanyakan, keluarga Plt Kadispar dikenal sebagai loyalis garis keras klan Rau—dinasti politik yang secara historis punya pengaruh besar di Banten. Maka publik bertanya-tanya: bagaimana bisa Linda justru dipercaya memimpin OPD strategis pada era Gubernur Andra yang secara politik dikenal sebagai antitesis dari kekuatan lama itu? Apakah ini bagian dari kompromi politik di belakang layar, ataukah ada skenario lain yang sedang dimainkan?

Staf-staf yang mencoba bersikap profesional justru merasa terintimidasi, seakan bekerja di bawah bayang-bayang kekuasaan ganda. “Kami tidak tahu siapa yang sebenarnya harus ditaati, kadang instruksi datang dari luar kantor, lewat orang rumah bu Kadis,” ungkap seorang ASN yang enggan disebutkan namanya. Dalam birokrasi, ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap etika publik dan prinsip administrasi negara.

Fenomena ini jelas mencerminkan buruknya manajemen kepemimpinan di Disparprov Banten. Ketika seorang kepala dinas, apalagi yang hanya berstatus pelaksana tugas, kehilangan independensinya, maka organisasi akan menjadi rapuh, rentan konflik, dan rawan disalahgunakan untuk kepentingan pribadi. Pemerintah Provinsi Banten tak boleh diam membiarkan hal ini berlarut-larut.

Gubernur Banten dan Inspektorat Daerah wajib melakukan investigasi terbuka. Ini bukan hanya soal etik, melainkan potensi pelanggaran hukum administrasi dan disiplin PNS. Diamnya otoritas terhadap persoalan ini justru memperkuat asumsi adanya pembiaran dan melemahnya sistem kontrol internal pemerintah daerah.

Pariwisata adalah sektor vital yang bisa menjadi lokomotif ekonomi Banten. Namun bagaimana mungkin sektor ini bisa maju jika pengelolaannya justru terjebak dalam praktik-praktik manipulatif dan kepentingan sempit? Jika tidak segera dibenahi, maka bukan mustahil kepercayaan publik dan mitra kerja terhadap Disparprov Banten akan runtuh total.

Sudah saatnya Banten berhenti menjadi panggung eksperimen bagi pemimpin yang tidak layak. Rakyat tidak butuh pejabat yang hanya menjadikan jabatan sebagai simbol kekuasaan, sementara kendali sebenarnya ada di tangan orang-orang di luar sistem. Ini adalah bentuk pembusukan birokrasi dari dalam. Dan jika Gubernur Andra tidak segera bertindak, maka publik berhak mencurigai bahwa ini bukan sekadar kelalaian, melainkan bagian dari skema kekuasaan yang lebih besar.

Oleh : Feriyana

Aktivis, Pemerhati Kebijakan Publik dan Sosial Budaya

(Ketum LSM Jambakk)