Gaji Rp 100 Juta Wakil Rakyat
On Selasa, Agustus 19, 2025
![]() |
Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR-DPD RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jumat, 15 Agustus 2025. |
Oleh: Firdaus Arifin
KABAR bahwa anggota Dewan Perwakilan Rakyat menerima take-home pay yang menembus angka seratus juta rupiah per bulan, kembali menampar nurani publik.
Angka itu muncul setelah adanya tambahan tunjangan perumahan yang menggantikan rumah dinas. Dengan tambahan puluhan juta rupiah per bulan, penghasilan wakil rakyat disebut bisa menyentuh Rp 100 juta, setara Rp 3 juta per hari.
Kabar ini segera bergulir menjadi polemik. Media sosial penuh dengan komentar sinis, rakyat berang, dan akademisi geleng kepala.
Angka itu bukan sekadar soal matematika gaji, melainkan simbol jurang yang kian menganga antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakilinya.
Bagaimana mungkin, di tengah harga beras yang terus melonjak, gizi anak yang masih bermasalah, dan rakyat yang kesulitan mengakses pekerjaan layak, para legislator justru tenang duduk di kursi empuk dengan jaminan penghasilan yang tak masuk akal bagi banyak warga?
Polemik gaji wakil rakyat bukanlah cerita baru. Sejak era Orde Baru hingga pasca-Reformasi, isu penghasilan pejabat publik kerap menjadi bahan perdebatan.
Secara resmi, gaji pokok anggota DPR hanya Rp 4,2 juta sesuai PP Nomor 75 Tahun 2000. Angka ini kecil. Namun publik tahu, yang membuat penghasilan mereka gemuk adalah aneka tunjangan: tunjangan jabatan, komunikasi intensif, kehormatan, hingga bantuan listrik dan telepon.
Dulu, polemik soal rumah dinas sempat merebak. Ada anggota DPR yang tak mau menempati rumah dinas, memilih menyewakan, atau malah membiarkan kosong.
Akhirnya, kebijakan bergeser: rumah dinas kini diganti dengan tunjangan perumahan, dengan angka fantastis hingga puluhan juta rupiah per bulan. Di sinilah letak lonjakan yang membuat take-home pay DPR melonjak hingga seratus juta rupiah.
Kisah ini mencerminkan ironi: gaji pokok memang kecil, tapi tunjangan menjadikannya berlipat.
Di situlah sering muncul perasaan tak adil: seolah DPR bukan lagi mewakili rakyat, melainkan mewakili kepentingan kesejahteraan dirinya sendiri.
Realitas Rakyat
Di lapangan, realitas rakyat berbicara lain. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat upah minimum provinsi 2025 rata-rata nasional hanya Rp 3,5 juta per bulan. Bahkan di banyak daerah, upah minimum masih di bawah angka itu.
Seorang buruh pabrik, pekerja informal, atau tenaga kontrak harus berjibaku setiap hari untuk memenuhi kebutuhan hidup yang kian mahal.
Ketimpangan semakin terasa bila kita menengok ke desa-desa. Seorang petani di Indramayu, misalnya, bisa menghabiskan sebulan penuh hanya untuk menghasilkan Rp 2 juta dari panen padi.
Nelayan kecil di pesisir utara Jawa hanya memperoleh Rp 1,5 juta sebulan bila cuaca bersahabat.
Di Nusa Tenggara Timur, banyak keluarga masih kesulitan mengakses air bersih, sementara anak-anak menderita stunting.
Kontraskah? Sangat. Ketika wakil rakyat bisa menikmati Rp 3 juta sehari, banyak rakyatnya justru tak mampu membeli lauk layak setiap hari.
Tentu, ada yang membela. Anggota DPR disebut memiliki tanggung jawab besar: menyusun undang-undang, mengawasi pemerintah, memperjuangkan aspirasi rakyat.
Mereka bekerja tujuh hari seminggu, dengan beban politik, risiko reputasi, bahkan ancaman keamanan.
Benar, tanggung jawab mereka besar. Namun, apakah besar tanggung jawab harus dibayar dengan angka yang melampaui batas rasa keadilan publik?
Sistem demokrasi perwakilan seharusnya menuntut Wakil Rakyat untuk berkorban, bukan berfoya-foya. Tugas legislatif memang berat, tapi ia adalah amanat, bukan ladang penghasilan.
Ada pula argumen bahwa gaji besar akan mengurangi potensi korupsi. Namun, sejarah membuktikan sebaliknya. Tak sedikit anggota DPR yang tetap tersangkut kasus suap dan korupsi meski penghasilan mereka sudah lebih dari cukup.
Artinya, masalahnya bukan sekadar besaran gaji, melainkan integritas moral dan mekanisme akuntabilitas.
Pertanyaan mendasar muncul: apakah para wakil rakyat itu masih bisa merasakan denyut nadi rakyat yang diwakilinya?
Empati seolah kian menipis ketika angka-angka fantastis itu diucapkan tanpa beban di ruang publik. Publik menuntut wakil rakyat untuk lebih rendah hati. Bukan soal menolak gaji, tetapi soal kepekaan.
Andai saja pernyataan tentang gaji seratus juta itu disertai refleksi: bahwa angka itu kontras dengan penderitaan rakyat, bahwa legislator harus bekerja keras membuktikan mereka layak menerima itu, mungkin polemik ini tak akan sebesar sekarang.
Sayangnya, yang terdengar justru pembenaran. Kalimat “cukup bagi kami” melukai nurani rakyat. Bagi rakyat kecil, Rp 100.000 saja bisa menentukan apakah dapur berasap hari itu.
Filsafat politik mengajarkan, legitimasi kekuasaan lahir bukan hanya dari prosedur, melainkan dari moral.
Wakil rakyat yang dipilih sah secara demokratis pun bisa kehilangan legitimasi bila gagal menjaga moralitas publik.
Moralitas bukan sesuatu yang bisa dibeli dengan gaji. Ia lahir dari keadilan, kejujuran, dan pengabdian.
Bila DPR tak lagi merefleksikan kepentingan rakyat, maka angka seratus juta di kursi mereka hanya akan menjadi simbol keserakahan.
Negara yang sehat menempatkan etika di atas materi. Namun, Indonesia seakan terjebak dalam paradoks: gaji wakil rakyat terus meningkat, tetapi indeks korupsi, kualitas legislasi, dan kepercayaan publik terhadap DPR justru menurun.
Apa yang bisa dilakukan? Pertama, DPR harus membuka data penghasilan mereka secara transparan. Komponen gaji, tunjangan, hingga fasilitas harus diungkap tanpa ditutup-tutupi. Transparansi adalah cara untuk mengembalikan kepercayaan publik.
Kedua, perlu mekanisme pengendali independen—semacam komisi etik atau lembaga audit publik—yang bisa mengukur kewajaran tunjangan DPR.
Jangan sampai DPR menetapkan sendiri berapa ia harus dibayar. Itu konflik kepentingan yang nyata.
Ketiga, DPR harus menyadari bahwa legitimasi mereka ditentukan rakyat. Setiap rupiah yang mereka terima berasal dari pajak rakyat, dari keringat buruh, petani, pedagang, dan nelayan. Uang negara bukan milik negara, melainkan uang rakyat yang dititipkan.
Apa yang seharusnya menjadi jalan keluar? Polemik gaji DPR ini seharusnya membuka ruang bagi refleksi kolektif: untuk apa seseorang menjadi wakil rakyat?
Menjadi anggota DPR bukanlah pekerjaan biasa. Ia adalah panggilan. Kursi DPR bukan kursi bisnis, melainkan kursi pengabdian.
Maka, jalan yang layak ditempuh adalah membangun keseimbangan: gaji dan tunjangan cukup untuk hidup layak, tetapi tidak berlebihan sehingga memutus empati pada rakyat.
Kita perlu menegaskan bahwa ukuran kesejahteraan wakil rakyat tidak boleh jauh melampaui kesejahteraan rakyat yang diwakilinya. Angka seratus juta terlalu jauh dari realitas.
Jika tetap dipertahankan, jarak antara rakyat dan wakilnya hanya akan semakin melebar.
Sejarah bangsa ini penuh dengan pengorbanan. Para pendiri republik hidup sederhana, bahkan Bung Hatta terkenal menolak hak pensiun. Ia meninggalkan jejak teladan bahwa kekuasaan bukan jalan memperkaya diri, melainkan mengabdi.
Hari ini, para wakil rakyat kita seolah melupakan ingatan itu. Mereka terjebak dalam kenyamanan kursi dan tunjangan. Padahal, bangsa ini tidak sedang surplus moral. Yang kita butuhkan bukan angka seratus juta, melainkan seratus persen integritas.
Ingatan akan pengorbanan para pendiri bangsa seharusnya menjadi cermin bahwa kekuasaan tanpa moral hanyalah panggung sandiwara.
Polemik gaji seratus juta anggota DPR bukan sekadar soal angka. Ia adalah cermin tentang bagaimana republik ini memandang kekuasaan, keadilan, dan pengabdian.
Rakyat boleh marah, boleh kecewa. Di balik itu, ada harapan: semoga polemik ini menjadi tamparan, agar wakil rakyat kembali ke fitrah tugasnya.
Agar kursi yang mereka duduki bukan sekadar kursi empuk dengan gaji ratusan juta, tetapi kursi yang penuh tanggung jawab moral untuk membela rakyat.
Karena pada akhirnya, gaji besar tanpa kepekaan hanyalah angka kosong. Yang membuat wakil rakyat benar-benar mulia bukan seratus juta di slip gaji, melainkan seratus persen keberpihakan kepada rakyat.
Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
Sumber: Kompas.com