-->

Berita Terbaru

Subscribe Here!

Enter your email address. It;s free!

Delivered by FeedBurner

Banjir, Hutan yang Hilang, dan Perjuangan Warga Buntul Takengon Menembus Lumpur Akibat Pembalakan Liar

By On Kamis, Desember 18, 2025

Warga Buntul, Aceh Tangah, berjalan puluhan kilometer menembus lumpur tebal dan suhu dingin pegunungan hanya untuk mendapatkan beras ke Lhokseumawe dan Bireuen

BIREUEN, KabarViral79.Com - Mereka berjalan puluhan kilometer menembus lumpur tebal dan suhu dingin pegunungan. Setiap langkah adalah risiko, setiap perjalanan adalah ujian. 

Bukan untuk berwisata, melainkan menjual rempah-rempah, cabai, dan sayur-mayur hasil kebun seadanya ke Bireuen dan Lhokseumawe.

Dari jerih payah itu, hasil yang didapat hanya cukup untuk membeli beras dan minyak goreng—sekadar bertahan hidup pasca bencana.

Inilah potret nyata warga Buntul Takengon, Aceh Tengah, yang hingga kini masih terisolasi akibat banjir bandang yang melanda kawasan Bener Meriah dan Aceh Tengah.

Bencana ini tidak datang tiba-tiba. Ia lahir dari proses panjang perusakan lingkungan yang dibiarkan berlangsung selama bertahun-tahun.

Berdasarkan penelusuran di lapangan, kawasan hulu yang dahulu menjadi penyangga alami kini mengalami kerusakan parah. Aktivitas pembalakan liar disebut warga berlangsung terbuka, bahkan menggunakan alat berat. Kayu-kayu hutan ditebang tanpa kendali, lereng dibiarkan gundul, dan alur sungai kehilangan daya tampungnya.

Warga Buntul, Aceh Tangah, berjalan puluhan kilometer menembus lumpur tebal dan suhu dingin pegunungan hanya untuk mendapatkan beras ke Lhokseumawe dan Bireuen. 

Ketika hujan deras mengguyur pegunungan, air tak lagi tertahan. Lumpur, batang kayu, dan bebatuan turun serentak, menghantam permukiman dan lahan pertanian. Jalan desa terputus, akses ekonomi lumpuh, dan warga terkurung di wilayahnya sendiri.

"Dulu banjir tidak separah ini. Sekarang setiap hujan kami takut," ujar Ramadhansyah seorang warga Buntul Takengon.

Menurutnya, perubahan drastis terjadi setelah hutan di sekitar kampung mulai ditebang secara masif. Namun keluhan warga kerap tak mendapat respons berarti.

Ironisnya, di tengah penderitaan warga, penindakan terhadap praktik pembalakan liar nyaris tak terlihat. Lemahnya pengawasan dan minimnya penegakan hukum menimbulkan pertanyaan serius: siapa yang diuntungkan dari rusaknya hutan, dan mengapa warga kecil justru harus menanggung dampaknya?

Hingga kini, bantuan yang masuk lebih banyak bersifat darurat. Belum ada langkah konkret untuk memulihkan akses jalan maupun menata ulang kawasan hulu yang rusak. Warga kembali dipaksa mengandalkan tenaga dan ketahanan mereka sendiri.

Kisah warga Buntul Takengon bukan sekadar cerita bencana alam, melainkan cermin kegagalan tata kelola lingkungan. Selama pembalakan liar terus dibiarkan dan hutan hanya dipandang sebagai komoditas, banjir bandang akan terus berulang—dan warga kecil akan kembali menjadi korban paling pertama dan paling lama merasakan dampaknya. (Joniful Bahri)

Next
« Prev Post
Previous
Next Post »