-->

Berita Terbaru

Subscribe Here!

Enter your email address. It;s free!

Delivered by FeedBurner

PT ABM BUMD Rusak! Transaksi Fiktif Minyak Goreng dan Proses Penetapan Tersangka Adalah Puncak Gunung Es Korupsi Terstruktur di Banten

By On Jumat, April 25, 2025

 


Banten, KabarViral79.Com - PT Agrobisnis Banten Mandiri (ABM), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) milik Pemprov Banten, kembali membuat malu rakyatnya sendiri. Kali ini, bukan karena kerugian usaha biasa, tapi karena terlibat dalam transaksi minyak goreng fiktif yang nilainya mencapai miliaran rupiah. Skandal ini menjadi tamparan keras atas carut-marutnya tata kelola BUMD yang dibiarkan tanpa pengawasan ketat.

Transaksi ini terjadi pada 17 Februari 2025 dengan menggunakan nomor Purchase Order ABM 1702202501035. PT ABM disebut membeli 300.000 kilogram (300 ton) minyak goreng CP10 dari PT Karyacipta Argomandiri Nusantara (KAN), yang diklaim diproduksi oleh PT Multi Nabati Asahan (MNA). Yang lebih mencurigakan, metode pembayaran yang digunakan adalah Cash Before Delivery (CBD), sistem yang semestinya hanya dipakai dalam kondisi transaksi terpercaya dan terverifikasi. Tapi kepercayaan ini justru dibalas dengan fiktif belaka!

LSM JAMBAKK telah melakukan investigasi lapangan dan menemukan fakta mencengangkan. Tidak ada tangki penyimpanan minyak goreng CP10 di Kecamatan Ciwandan, Kota Cilegon, sebagaimana diklaim dalam dokumen transaksi. Bahkan pihak PT MNA, sebagai produsen, tidak bisa menunjukkan bukti transaksi maupun distribusi barang kepada PT KAN atau PT ABM.

Tidak ditemukan dokumen pengiriman (delivery order), bukti serah terima barang, atau truk distribusi yang biasanya menyertai pengadaan sebesar itu. Indikasi ini memperkuat dugaan bahwa seluruh proses adalah rekayasa untuk mengalirkan dana secara ilegal. Dengan estimasi harga pasar Rp15.000 – 17.000/kg, potensi kerugian negara bisa mencapai Rp4,5 – 5,1 miliar.

Transaksi ini ditandatangani oleh Plt. Direksi PT ABM berinisial YU, yang sampai saat ini belum memberikan klarifikasi resmi. Tindakan tersebut berpotensi melanggar Pasal 2 dan 3 UU Tipikor dengan ancaman 20 tahun penjara, karena terbukti memperkaya diri atau orang lain dengan menyalahgunakan kewenangan jabatan.

Ini bukan kebodohan administratif. Ini kejahatan yang direncanakan. Tidak ada kajian kelayakan bisnis, tidak ada dasar investasi yang sah, dan tidak ada transparansi dari PT ABM sejak awal. Justru dari investigasi internal, ditemukan bahwa PT ABM pernah tersangkut kasus penyimpangan dana investasi tahun 2023 dan sejak 2022 tidak pernah diaudit independen.

Kasus ini mengingatkan kita pada skandal PT Riau Airlines, di mana direktur utamanya dijatuhi vonis 8 tahun penjara karena transaksi fiktif pengadaan avtur senilai Rp27 miliar. Kalau hukum berlaku adil, maka aktor-aktor dalam kasus PT ABM juga harus diseret ke meja hijau!

Gubernur Banten tak boleh terus berlindung dalam diam. Rakyat menuntut tindakan nyata. Ini bukan hanya kasus korupsi biasa, tapi simbol rusaknya moral birokrasi daerah. DPD Gerakan KAWAN Provinsi Banten mendesak audit forensik terhadap seluruh keuangan PT ABM, pembekuan operasional, serta pemeriksaan menyeluruh terhadap semua direksi dan pihak ketiga yang terlibat.

Sebagai bentuk keseriusan dan progres positif, Feriyana, Ketua Umum LSM JAMBAKK yang merupakan pelapor kasus ini, telah memenuhi panggilan resmi Kejaksaan Tinggi Banten pada 25 April 2025 dan melengkapi seluruh keterangan serta dokumen pendukung. Hal ini menandakan bahwa proses hukum telah dimulai secara resmi, dan dengan penuh keyakinan publik, penetapan tersangka terhadap pejabat BUMD terkait tinggal menunggu waktu.

DPD Gerakan KAWAN Provinsi Banten siap mendukung langkah hukum ini sepenuhnya. Karena jika kita terus diam, maka kita mengizinkan korupsi merajalela dan menghancurkan masa depan anak cucu kita di Banten. TIKUS-TIKUS BERSERAGAM INI HARUS DIBURU, DIADILI, DAN DIHUKUM SEBERAT-BERATNYA!

Oleh: Nurhasan – (Ketua DPD Gerakan KAWAN Provinsi Banten)

Manuver Politik di Balik Kursi Kedua: Ketika Wakil Menggugat Garis Komando

By On Rabu, April 23, 2025

 


Banten, KabarViral79.Com - “Urang Pandeglang mah ulah kabablasan lamun keur meunang posisi, kudu bisa mikacermin jeung nyaho diri.”

(Urang Pandeglang jangan sampai kebablasan ketika mendapat posisi, harus bisa bercermin dan tahu diri.)

Petuah lokal ini agaknya mulai ditinggalkan, terutama oleh mereka yang tengah menikmati kekuasaan. Di Banten, kursi kedua—yang seharusnya menjadi simbol loyalitas dan dukungan terhadap kepemimpinan utama—kini justru menjadi panggung manuver politik yang mengusik tatanan birokrasi. Wakil Gubernur Banten, Dimyati Natakusumah, yang berasal dari tanah Pandeglang, tampil seolah pemimpin utama dan menggugat garis komando yang seharusnya tegak lurus.

Alih-alih memperkuat posisi gubernur, Dimyati tampak sibuk membangun panggungnya sendiri. Dalam berbagai forum, baik resmi maupun informal, ia mengambil alih narasi, tampil percaya diri seolah-olah pemegang kendali penuh atas pemerintahan. Ini bukan sekadar pelanggaran etika birokrasi, melainkan sinyal kuat bahwa Dimyati tengah merancang strategi menuju Pilgub 2029—dengan gaya kepemimpinan yang cenderung menyerobot kewenangan.

Gaya “overlapping” ini menimbulkan keresahan internal. Ketika wakil mulai bertindak seperti gubernur, maka birokrasi kehilangan arah. Garis perintah menjadi bias, kebijakan tumpang tindih, dan pelayanan publik berpotensi terganggu. Pegawai negeri dibuat bingung: harus taat pada siapa?

Situasinya diperparah dengan isu masuknya gerbong ASN dari Kabupaten Pandeglang—basis politik Dimyati—ke lingkup strategis Pemprov. Ini bukan mutasi biasa, tapi lebih menyerupai infiltrasi. Seolah-olah ada upaya membentuk klan kekuasaan di tubuh birokrasi, yang pada akhirnya mencederai prinsip meritokrasi dan profesionalisme aparatur.

Jika ini dibiarkan, maka birokrasi tidak lagi netral. ASN akan terseret dalam orbit loyalitas politik, bukan profesionalisme kerja. Ini sangat membahayakan kredibilitas pemerintahan, terlebih di masa ketika publik menuntut transparansi dan integritas.

Dimyati mungkin merasa sedang memainkan langkah catur politik yang cerdas. Namun rakyat Banten tak mudah dikelabui. Mereka tahu, ini bukan soal visi pembangunan, melainkan soal ambisi kekuasaan. Politik kursi kedua yang menggugat kursi utama hanya akan merusak harmoni dan efektivitas pemerintahan.

Secara akademik, fenomena ini adalah bentuk political overreach, ketika seorang pejabat melampaui batas konstitusional demi kepentingan elektoral pribadi. Ini bukan hanya keliru secara etik, tapi juga memperlihatkan kegagalan dalam memahami peran sebagai wakil.

Banten tak butuh perebutan kuasa di internal kepemimpinan. Banten butuh kerja nyata dan sinergi. Jika kursi kedua justru sibuk menjegal dan mencari sorotan, maka yang menjadi korban adalah rakyat.

Sudah waktunya elite politik Banten angkat bicara. Jangan tunggu stabilitas pemerintahan benar-benar runtuh akibat ambisi pribadi yang disamarkan dalam slogan. Jangan biarkan petuah kearifan lokal Pandeglang hanya jadi hiasan, tanpa makna di dunia nyata.

Oleh: Akhmad Hakiki Hakim, SHI

(Aktivis Pemerhati Kebijakan Publik dan Politik)

Skandal Kepemimpinan Bayangan: Dinas Pariwisata Banten Digenggam Orang Rumah

By On Minggu, April 20, 2025

 


Banten, KabarViral79.Com - Pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel semestinya menjadi fondasi dalam menjalankan roda organisasi perangkat daerah. Namun, apa jadinya jika institusi publik justru dikendalikan oleh sosok yang tidak memiliki kewenangan formal? Dugaan kuat mencuat bahwa Plt. Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Banten, Linda Rohyati Fatimah, membiarkan sang suami, Didit, menjadi “sutradara bayangan” dalam mengatur berbagai kegiatan strategis di OPD tersebut.

Sejumlah pengusaha lokal mengeluhkan sulitnya bersaing secara sehat dalam proses pengadaan maupun kerja sama program di Disparprov. Mereka mengaku dipersulit bahkan ‘dipinggirkan’ karena tidak masuk dalam skenario yang telah dirancang oleh kekuasaan informal yang tidak kasatmata namun sangat berpengaruh. Hal ini tentu menyalahi prinsip good governance dan melukai iklim usaha yang seharusnya dijaga netral dan profesional oleh pemerintah.

Lebih ironis, fenomena ini berpotensi melanggar aturan hukum. Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Pasal 17 menyebutkan bahwa pejabat pemerintahan dilarang menyalahgunakan wewenang, serta dilarang melakukan perbuatan yang menimbulkan konflik kepentingan. Sementara dalam PP No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS, Pasal 3 huruf f menyebutkan bahwa setiap PNS wajib menjaga netralitas dan tidak memihak kepada kepentingan pribadi, keluarga, golongan, atau pihak lain.

Informasi yang dihimpun dari internal Dinas Pariwisata menyebutkan bahwa terjadi gesekan hebat antar bidang di tubuh OPD tersebut. Ketidaknyamanan bukan sekadar soal teknis, namun menyangkut kultur kerja yang tak sehat dan suasana psikologis pegawai yang penuh tekanan. Situasi ini diperparah oleh gaya kepemimpinan yang dianggap tidak memberi arahan yang tegas, melainkan justru tunduk pada intervensi dari pihak luar.

Yang menarik dan patut dipertanyakan, keluarga Plt Kadispar dikenal sebagai loyalis garis keras klan Rau—dinasti politik yang secara historis punya pengaruh besar di Banten. Maka publik bertanya-tanya: bagaimana bisa Linda justru dipercaya memimpin OPD strategis pada era Gubernur Andra yang secara politik dikenal sebagai antitesis dari kekuatan lama itu? Apakah ini bagian dari kompromi politik di belakang layar, ataukah ada skenario lain yang sedang dimainkan?

Staf-staf yang mencoba bersikap profesional justru merasa terintimidasi, seakan bekerja di bawah bayang-bayang kekuasaan ganda. “Kami tidak tahu siapa yang sebenarnya harus ditaati, kadang instruksi datang dari luar kantor, lewat orang rumah bu Kadis,” ungkap seorang ASN yang enggan disebutkan namanya. Dalam birokrasi, ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap etika publik dan prinsip administrasi negara.

Fenomena ini jelas mencerminkan buruknya manajemen kepemimpinan di Disparprov Banten. Ketika seorang kepala dinas, apalagi yang hanya berstatus pelaksana tugas, kehilangan independensinya, maka organisasi akan menjadi rapuh, rentan konflik, dan rawan disalahgunakan untuk kepentingan pribadi. Pemerintah Provinsi Banten tak boleh diam membiarkan hal ini berlarut-larut.

Gubernur Banten dan Inspektorat Daerah wajib melakukan investigasi terbuka. Ini bukan hanya soal etik, melainkan potensi pelanggaran hukum administrasi dan disiplin PNS. Diamnya otoritas terhadap persoalan ini justru memperkuat asumsi adanya pembiaran dan melemahnya sistem kontrol internal pemerintah daerah.

Pariwisata adalah sektor vital yang bisa menjadi lokomotif ekonomi Banten. Namun bagaimana mungkin sektor ini bisa maju jika pengelolaannya justru terjebak dalam praktik-praktik manipulatif dan kepentingan sempit? Jika tidak segera dibenahi, maka bukan mustahil kepercayaan publik dan mitra kerja terhadap Disparprov Banten akan runtuh total.

Sudah saatnya Banten berhenti menjadi panggung eksperimen bagi pemimpin yang tidak layak. Rakyat tidak butuh pejabat yang hanya menjadikan jabatan sebagai simbol kekuasaan, sementara kendali sebenarnya ada di tangan orang-orang di luar sistem. Ini adalah bentuk pembusukan birokrasi dari dalam. Dan jika Gubernur Andra tidak segera bertindak, maka publik berhak mencurigai bahwa ini bukan sekadar kelalaian, melainkan bagian dari skema kekuasaan yang lebih besar.

Oleh : Feriyana

Aktivis, Pemerhati Kebijakan Publik dan Sosial Budaya

(Ketum LSM Jambakk)

Dimyati Natakusumah: Wakil yang Terlalu Nyaring, Kudeta dalam Kesunyian

By On Sabtu, April 19, 2025

 


Banten, KabarViral79.Com - Fenomena politik di Banten kembali menjadi sorotan publik, bukan karena inovasi kebijakan atau capaian pembangunan yang menonjol, tetapi karena dinamika relasi kuasa yang tidak lazim antara Gubernur Banten Andra Soni dan Wakil Gubernur Achmad Dimyati Natakusumah. Dalam beberapa kesempatan, Wakil Gubernur tampil terlalu dominan, bahkan mencolok melebihi porsi dan fungsi konstitusionalnya. Masyarakat mulai mempertanyakan batas-batas etika kekuasaan yang semestinya dijaga dalam sistem pemerintahan daerah.

Secara normatif, wakil gubernur adalah pendamping kepala daerah dalam menjalankan roda pemerintahan. Ia bukan pembuat keputusan utama, melainkan partner strategis yang membantu pelaksanaan kebijakan gubernur. Namun yang terlihat di Banten justru sebaliknya. Dimyati sering kali tampil di ruang publik sebagai aktor utama, menyampaikan pernyataan-pernyataan yang seharusnya menjadi domain eksklusif gubernur.

Salah satu contoh nyata adalah ketika dalam rapat perdana dengan organisasi perangkat daerah (OPD) pada 21 Februari 2025, Dimyati langsung memimpin jalannya rapat dan memberikan arahan tegas mengenai efisiensi anggaran. Ia menekankan pentingnya menghindari pemborosan dan meminta kepala dinas untuk bekerja secara profesional, bahkan menyatakan bahwa mereka tidak boleh “diperas” atau “dilecehkan” dalam menjalankan tugasnya. Pernyataan ini, meskipun bertujuan positif, menimbulkan pertanyaan mengenai peran gubernur dalam memberikan arahan strategis kepada OPD.

Setelah menjabat, tindakan Dimyati tidak mereda. Dalam beberapa forum resmi pemerintahan, seperti pembukaan APKI Banten Fest 2025 pada 23 Februari 2025, ia tampil sebagai pemimpin utama tanpa kehadiran gubernur. Bahkan dalam pernyataan di media lokal saat membuka acara tersebut, ia menekankan pentingnya peran pengawas ketenagakerjaan sebagai pelaksana teknis yang memastikan peraturan ketenagakerjaan di tempat kerja. Ungkapan tersebut menimbulkan kejanggalan administratif karena pengawasan ketenagakerjaan merupakan program lintas sektor yang mestinya dirancang dalam bingkai kolektif pemerintahan daerah, bukan inisiatif personal.

Pergeseran ini tentu berpotensi menciptakan disharmoni di tubuh birokrasi Banten. ASN sebagai pelaksana kebijakan publik akan terjebak dalam kebingungan hierarki jika peran gubernur dan wakil gubernur tidak dibedakan secara tegas. Secara institusional, ini merusak tatanan tata kelola yang sehat, dan dalam jangka panjang dapat melemahkan legitimasi pemerintahan di mata publik.

Kritik publik pun tak terelakkan. Di berbagai forum diskusi dan ruang digital, masyarakat Banten menyuarakan keresahan atas dominasi Dimyati dalam komunikasi pemerintahan. Bagi masyarakat yang paham politik, ini tidak sehat bagi demokrasi lokal. Namun bagi masyarakat awam, situasi ini menciptakan persepsi keliru tentang siapa sebenarnya pemimpin utama di provinsi ini.

Tidak sedikit pula pihak yang menilai sikap Dimyati sebagai manuver politik menjelang kontestasi berikutnya. Dengan memanfaatkan panggung jabatan sebagai alat pencitraan, ia tampaknya sedang membangun modal politik untuk masa depan. Namun, etika publik tetap harus menjadi pagar moral. Masyarakat butuh pemimpin yang menunjukkan sinergi, bukan kompetisi kekuasaan di internal pemerintahan.

Lebih lanjut, dalam beberapa agenda strategis seperti kuliah dhuha di Masjid Bilal Perguruan Muhammadiyah Kota Serang pada 9 Maret 2025, Dimyati terlihat memimpin jalannya acara dan menyampaikan arahan kebijakan tanpa kehadiran gubernur. Ia menegaskan kesiapan pelaksanaan program sekolah gratis di Banten, menyatakan bahwa anggaran sebesar Rp140 miliar telah dialokasikan untuk program tersebut. Tindakan ini tidak hanya simbolik, tetapi juga substansial karena secara prosedural dapat menciptakan ketidakteraturan dalam jalur komando pemerintahan.

Tantangan terbesar kini ada pada Gubernur Andra Soni sendiri. Mampukah ia menunjukkan ketegasan dalam menjaga kewibawaannya sebagai pemimpin tertinggi daerah? Ataukah ia justru terjebak dalam jebakan birokrasi diam yang secara diam-diam membiarkan dominasi wakilnya terus berlangsung? Ketegasan bukan soal konfrontasi, melainkan soal kepemimpinan yang terukur dan konsisten dalam mengawal norma-norma sistem pemerintahan.

Dalam konteks tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), kejadian ini seharusnya menjadi momentum evaluasi. Relasi gubernur dan wakil gubernur harus berdasarkan asas saling melengkapi, bukan saling menegasi. Banten tidak butuh dualisme kepemimpinan. Yang dibutuhkan rakyat adalah harmoni yang membuahkan kerja nyata dan kebijakan yang berpihak.

Kudeta dalam Kesunyian

Dalam sunyi birokrasi yang teratur, kau menyelusup dengan kata-kata bak fatwa,

Menabuh genderang kuasa tanpa mandat, memalsukan legitimasi dalam balutan diplomasi.

Etika publik kau lipat dalam amplop ambisi, seolah rakyat buta pada tata norma konstitusi.

Ini bukan pendampingan, ini deviasi yang terstruktur—sebuah kudeta tanpa pedang,

Namun menyayat kepercayaan publik, menodai prinsip checks and balances yang agung.

Oleh: Saeful Hidayat, SH., MH

Aktivis, Pemerhati Politik dan Kebijakan Publik Banten. (Wakil Ketua Umum II DPP Gerakan KAWAN)

Nana Supiana, Figur Birokrat di Tengah Perdebatan Demokrasi dan Meritokrasi

By On Senin, April 14, 2025

 


Banten, KabarViral79.Com - Proses penunjukan Sekretaris Daerah (Sekda) definitif Provinsi Banten tengah menjadi sorotan publik. Bukan semata karena posisi ini adalah jabatan tertinggi dalam karier Aparatur Sipil Negara (ASN), melainkan karena dinamika naratif yang menyertainya. Sayangnya, sebagian narasi yang berkembang justru mencederai semangat profesionalisme ASN dan menggeser diskursus ke wilayah yang bias dan penuh prasangka.

Salah satu yang disayangkan adalah anggapan bahwa dukungan terbuka masyarakat terhadap salah satu kandidat kuat, Nana Supiana, dianggap sebagai beban politik bagi Gubernur atau bahkan dikaitkan dengan skenario “balas budi”. Pendekatan seperti ini tidak hanya reduktif, tapi juga melemahkan partisipasi publik yang sah dalam ruang demokrasi.

Nana Supiana bukan nama asing dalam birokrasi Banten. Rekam jejaknya terbentang panjang dalam jabatan-jabatan strategis di lingkungan Pemprov. Ia dikenal sebagai figur teknokratik yang tenang, adaptif, dan bekerja dalam diam. Ketika dukungan terhadapnya datang dari berbagai elemen—tokoh masyarakat, akademisi, hingga organisasi sipil—ini bukan sinyal intervensi, tetapi ekspresi kepercayaan.

Mengapa dukungan semacam ini justru dianggap problematik? Bukankah modal sosial dan kepercayaan publik adalah salah satu indikator penting dalam menilai kelayakan seorang pemimpin birokrasi?

Ketakutan bahwa dukungan akan berubah menjadi tekanan politik adalah kekhawatiran yang prematur. Justru dalam era tata kelola pemerintahan yang menuntut akuntabilitas dan transparansi, pejabat publik yang memiliki legitimasi ganda—legal dari kepala daerah dan moral dari publik—lebih mampu menghadirkan birokrasi yang melayani.

Perlu ditekankan, jabatan Sekda bukan posisi politik. Ini adalah jabatan karier ASN tertinggi yang seyogianya diisi melalui prinsip meritokrasi, profesionalisme, dan integritas. Maka jika Nana Supiana melalui semua tahapan seleksi sesuai sistem kepegawaian nasional dan mendapat dukungan luas, itu adalah kekuatan, bukan kerentanan.

Sudah saatnya Banten dipimpin oleh birokrat yang tak hanya kuat secara teknokratik, tetapi juga memiliki keberterimaan sosial. Dalam diri Nana, sebagian publik melihat harapan akan birokrasi yang terbuka, bersih, dan humanis.

Gubernur Andra Soni tentu memiliki hak prerogatif sekaligus tanggung jawab moral untuk memilih Sekda terbaik. Namun, bukan berarti aspirasi publik harus dikesampingkan apalagi dicurigai. Menyikapi dukungan sebagai bagian dari proses demokrasi justru memperkuat legitimasi dan memperluas basis sosial birokrasi itu sendiri.

Menjaga profesionalisme ASN bukan berarti mensterilkan mereka dari dukungan publik, melainkan memastikan bahwa setiap proses berjalan sesuai nilai-nilai meritokrasi dan transparansi. Rekam jejak dan integritas harus tetap menjadi parameter utama, bukan asumsi-asumsi tak berdasar.

Banten membutuhkan figur birokrat yang kuat dalam tata kelola, dan bersih dari prasangka. Jika Nana Supiana adalah pilihan itu, maka wajar bila publik berharap lebih dan siap mengawal bersama.

Langkah Gubernur Andra Soni dalam menempatkan figur Sekda bukan hanya soal memenuhi kebutuhan administratif, tetapi juga bagian dari visi reformasi birokrasi yang lebih besar. Dengan memilih figur yang memiliki integritas, kompetensi, dan diterima luas oleh masyarakat, Gubernur mengirimkan pesan bahwa birokrasi Banten harus berdiri di atas fondasi profesionalisme, bukan kepentingan sesaat.

Pemilihan Sekda merupakan titik krusial dalam konsolidasi tata kelola pemerintahan. Figur Sekda akan menjadi penentu denyut harian birokrasi, pengawal kebijakan strategis, sekaligus jembatan antara visi kepala daerah dan implementasi di lapangan. Jika pilihan Gubernur jatuh pada sosok seperti Nana Supiana, itu bukan sekadar keputusan administratif, tetapi langkah konkret menuju penguatan struktur birokrasi yang bersih, efektif, dan akuntabel.

Dalam konteks ini, publik perlu memberikan ruang bagi Gubernur untuk menjalankan kewenangannya secara objektif dan proporsional. Dukungan terhadap sosok tertentu bukan bentuk tekanan, melainkan partisipasi. Dan keputusan akhir yang diambil secara bijak dan independen akan menjadi fondasi penting dalam membangun pemerintahan Banten yang berpihak pada kepentingan rakyat, bukan kelompok tertentu.

Oleh: Dr. Budi Ilham Maliki – Akademisi dan Aktivis Kebijakan Publik, UNIBA Banten

Usut Tuntas Proyek Saum di Dishub Banten: Ungkap Proyek Pokir Anggota DPRD Banten yang Diduga Korupsi Terstruktur, Sistematis, dan Masif!

By On Senin, Maret 17, 2025

 


Banten, KabarViral79.Com - Dugaan korupsi proyek Sarana Angkutan Umum Massal (SAUM) yang merugikan rakyat Banten hingga miliaran rupiah adalah bukti nyata bahwa birokrasi di Dinas Perhubungan (Dishub) Provinsi Banten bukan hanya gagal total, tetapi juga telah berubah menjadi sarang para tikus berdasi. Bagaimana mungkin sejak 2018 hingga 2024, proyek ini terus menyedot anggaran, tetapi tidak memberikan manfaat sedikit pun bagi masyarakat? Inilah pola korupsi klasik: bakar uang rakyat tanpa hasil, hanya untuk memperkaya segelintir pejabat dan oknum panitia anggaran baik eksekutif maupun legislatif.

Kepala Dishub Banten, Tri Nurtopo, tak bisa lagi bersembunyi di balik alasan birokrasi atau hambatan teknis. Fakta-fakta yang terungkap begitu terang-benderang! Dua unit bus yang tak beroperasi, halte yang dibangun di sepanjang titik project SAUM dari tahun ke tahun tanpa operasional yang jelas, anggaran jasa konsultasi yang terus dikucurkan tanpa ada hasil nyata—semua ini adalah skandal korupsi yang dipelihara dengan sadar dan sistematis! Jika Tri Nurtopo tidak bisa memberikan jawaban yang jelas, maka ia layak dicopot dan diseret ke meja hijau!

Bagaimana mungkin proyek dengan anggaran Rp 16,5 miliar lebih tidak memberikan dampak sama sekali bagi masyarakat? Bagaimana bisa halte dan bus yang diadakan dengan uang rakyat malah menjadi monumen kegagalan Dishub dan DPRD? Ini bukan hanya pemborosan, tapi perampokan terang-terangan! Jika proyek ini terus berjalan dengan modus yang sama, maka jelas ada sindikat yang terus bermain dan menikmati hasil korupsi ini.

Selain proyek SAUM, indikasi keterlibatan oknum anggota DPRD dalam proyek lain di Dishub Banten juga perlu ditelusuri, khususnya pada program seperti Area Traffic Control System (ATCS), proyek Penerangan Jalan Umum (PJU), serta proyek marka jalan yang nilainya milyaran rupiah dan berkaitan dengan Pokir DPRD. Jika memang ada pola yang sama dalam mekanisme anggaran dan pelaksanaannya, maka tidak menutup kemungkinan bahwa proyek-proyek lain di lingkungan Dishub Banten juga terindikasi sebagai lahan korupsi. Oleh karena itu, langkah yang diperlukan adalah audit menyeluruh terhadap seluruh program yang bersumber dari APBD, serta tindakan tegas dari aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas dugaan penyalahgunaan wewenang ini.

Lebih ironisnya lagi, ada indikasi kuat keterlibatan oknum anggota DPRD Banten dalam skema kolusi ini. Pokok Pikiran (Pokir) yang seharusnya menjadi solusi bagi rakyat malah disalahgunakan untuk memainkan proyek-proyek untuk kepentingannya. Dugaan permainan dalam penunjukan pihak ketiga, manipulasi anggaran, hingga bancakan uang rakyat semakin membuktikan bahwa anggota dewan yang seharusnya menjadi wakil rakyat malah menjadi bagian yang menggerogoti uang rakyat! Jika Aparat Penegak Hukum (APH) di Banten dan KPK diam saja, maka institusi ini patut dipertanyakan kiprahnya dalam hal penegakkan hukum terhadap kasus-kasus korupsi di Banten

Tidak ada lagi toleransi! Aparat Penegak Hukum di Banten dan KPK harus segera mengusut tuntas kasus ini! Panggil dan periksa Tri Nurtopo, bongkar aliran dana proyek ini, dan seret semua pelaku ke meja hijau tanpa pandang bulu! Jika Gubernur Banten Andra Soni masih membiarkan orang seperti Tri Nurtopo bercokol di jabatan strategis, maka patut dipertanyakan apakah ada kongkalikong antara mereka? Jangan sampai Gubernur melakukan pembiaran bancakan anggaran ini dengan mendudukkan pejabat bermasalah tetap duduk di kursi kekuasaan!

Dan harus diingat, bahwa dana yang dititipkan oleh anggota DPRD Banten bukan hanya di Dishub Banten saja, tapi hampir di setiap OPD melalui Pokok –Pokok Pikiran (Pokir) dan mendominasi APBD Banten, yang patut dipertanyakan adalah, begitu gamblangnya tunjuk menunjuk pihak ketiga dalam pelaksanaan kegiatan, begitu terkomunikasinya nilai komisi-komisi yang disebutkan, begitu terkoreksinya bin pokir atas pekerjaan atau program di dinas-dinas tersebut. Apakah sudah begitu rusaknya tatanan Negara dan hukum di negeri ini, apakah sudah begitu akrabnya lingkaran kolusi, korupsi dan nepotisme bercokol di negeri ini.

PROYEK ATCS: MENGGELONTORKAN ANGGARAN MILIARAN TANPA TRANSPARANSI!

Tak hanya SAUM, proyek ATCS pada APBD Tahun 2024 yang menghabiskan anggaran hingga milyaran rupiah lebih juga menyimpan dugaan penyimpangan besar. Beberapa proyek dengan nilai fantastis yang perlu diaudit dan diusut tuntas, antara lain:

 Pengadaan & Pemasangan Traffic Signal Control ATCS Simpang 4 – Rp 8.674.200.000,-

 Revitalisasi Traffic Light Simpang ATCS – Rp 2.994.956.000,-

 Pengadaan & Pemasangan Videowall Command Centre (CC Room) ATCS – Rp 2.812.868.00,-

 Pengadaan & Pemasangan Server ATCS – Rp 2.720.400.000,-

 Pengadaan & Pemasangan Traffic Signal Control ATCS Simpang 3 – Rp 1.620.200.000,-

 Belanja Paket Internet ATCS – Rp 784.008.000,-

 Pengadaan & Pemasangan Traffic Light Simpang 3 – Rp 1.040.087.400,-

Dari proyek-proyek ini, tidak ada transparansi bagaimana realisasi anggarannya! Proyek ATCS yang seharusnya meningkatkan sistem pengendalian lalu lintas justru menjadi lahan korupsi baru! Apa hasil dari miliaran rupiah yang digelontorkan? Apakah sistem ATCS benar-benar berfungsi maksimal atau hanya sekadar proyek untuk menguras uang rakyat?

Demikian juga yang berkaitan dengan Penerangan Jalan Umum, Marka Jalan dan lain-lain, pada akhirannya dari urutan bagian-bagian item pekerjaan tersebut, dinyatakan bahwa usulan kegiatan tersebut adalah bagian dari Pokok-pokok Pikiran (Pokir) Anggota DPRD Banten.

Kita bisa simak alokasi anggaran di APBD Dishub Banten Tahun Anggaran 2024, terutama yang berkaitan dengan area PJU dan Marka Jalan, dimana dikatakan sebagian besar adalah bagian dari Pokok-Pokok Pikiran (Pokir) Anggota DPRD Banten, diantaranya :

 Belanja Pemeliharaan Jalan dan Jembatan-Jalan-jalan Propinsi, Pengadaan dan Pemasangan Marka DI Ruas Jalan Propinsi – Rp 3.329.000.000,-

 Pekerjaan Pengadaan dan Pemasangan Warning Light Tenaga Surya – Pengadaan dan Pemasangan Rambu Lalu Lintas Standar - Rp. 3.029.079.000,-

 Pengadaan dan Pemasangan / Instalasi APJ/LPJU Stang Ornamen (Mekanikal dan Elektrikal) Listrik PLN pada Ruas Jalan Propinsi di WKP III - Rp. 2.517.396.000,-

 Belanja Pemeliharaan Jalan dan Jembatan – Jalan-Jalan Propinsi, Pengadaan dan Pemasangan Marka Jalan di WKP iii - Rp. 2.330.300.000,-

 Pengadaan Lampu LED Armateur LPJU/APJ Daya 90 Watt Non Smart System (Alokasi Pemasangan APJ /LPJU Stang Ornamen di WKP III) - Rp. 2.225.700.000,-

 Belanja Pemeliharaan Jalan dan Jembatan – Jalan-jalan Propinsi, Pengadaan dan Pemasangan Marka Jalan di WKP ii - Rp. 1.997.400.000,-

 Belanja Alat/Bahan Untuk Kegiatan Kantor- Alat Listrik – Belanja Barang Revitalisasi Warning Light - Rp. 1.916.088.000,-

 Belanja Pemeliharaan Jalan dan Jembatan – Jalan-Jalan Propinsi, Pengadaan dan Pemasangan Marka Jalan di Jaln WKP I – Rp. 1.664.500.000,-

 Belanja Modal Jaringan Distribusi, Belanja Modal Pengadaan Pemasangan APJ/LPJU Tenaga Listrik PLN (Tiang Single Arm dan Double Arm) - Rp. 1.482.882.000,-

 Pengadaan Lampu LED Armateur LPJU/APJ Daya 120 Watt Non Smart System (Alokasi Pemasangan APJ/LPJU Tiang Single Arm dan Double Arm) - Rp. 1.200.800.000,-

 Pengadaan dan Pemasangan/Instalasi APJ/LPJU Stang Ornamen (Mekanikal dan Elektrikal Liistrik PLN pada Ruas Jalan Propinsi di WKP II - Rp. 1.198.760.000,-

 Pembangunan Zona Selamat Sekolah Zoss – Pengadaan dan Pemasangan Marka Zoss Coldplastic-Pengadaan dan Pemasangan Marka Zoss Thermoplastic - Rp. 1.078.761.675,-

 Pengadaan dan Pemasangan Traffic Light Simpang Tiga - Rp. 1.040.087.400,-

 Pembangunan CC Room – Rp, 948.000.000,-

 Belanja Pemeliharaan Jalan dan Jembatan – Jalan-Jalan Propinsi, Pengadaan dan Pemasangan Marka Zebra Cross (20 Lokasi) - Rp. 930.107.050.000,-

 Belanja Komponen-komponen Rambu-rambu – Belanja Barang RevitalISASI Warning Light - Rp. 854.514.000,-

 Pengadaan Lampu LED Armateur LPJU/APJ Daya 90 Watt Non Smart System (Alokasi Pemasangan APJ/LPJU Stang Ornamen di WKP II - Rp. 840.820.000,-

 Pekerjaan Pengadaan dan Pemasangan Warning Light Tenaga Surya – Pengadaan dan Pemasangan Rambu Lalu Lintas Standar - Rp. 807.754.400,-

 Belanja Pengadaan Lampu LED Armateur LPJU – Pengadaan Armature Lampu APJ/PJU (E-Kataloge) 90 Watt Non Smart System (Untuk Stock Pemeliharaan) - Rp. 741.900.000,-

 Belanja Modal Jaringan Distribusi, Konversi APJ/LPJU Solar cell Menjadi APJ/LPJU Tenaga Listrik PLN - Rp. 666.588.000,-

 Belanja Modal Jaringan Distribusi Pengadaan Lampu LED, Armateur LPJU/APJ Daya 90 Watt Non Smart System (Alokasi Konversi APJ/LPJU) - Rp. 593.520.000,-

 Pengadaan Lampu LED Armateur LPJU/APJ Daya 90 Watt Non Smart System (Alokasi Pemasangan APJ/LPJU Stang Ornamen di WKP I - Rp. 593.520.000,-

 Belanja Pemeliharaan Jalan dan Jembatan – Jalan-jalan Propinsi, Pengadaan dan Pemasangan Marka Zebra Cross - Rp. 399.480.000,-

Melihat fenomena dan realita yang terjadi sepanjang tahun 2024, tentunya akan berulang kembali pada tahun 2025 ini dan jawabannya, Mahasiswa, aktivis, dan masyarakat sipil harus bersatu untuk menjungkalkan para maling anggaran ini! Jika pemerintah daerah dan aparat penegak hukum lambat bertindak, gelombang aksi besar harus dilakukan! Banten bukan tempat bagi para bandit berdasi yang pura-pura bekerja tapi hanya memperkaya diri sendiri!

Sudah saatnya aktivis, mahasiswa dan masyarakat sipil bersatu untuk menyuarakan mafia anggaran dan proyek di Pemprop Banten ini kehadapan Aparat Penegak Hukum maupun KPK. Ketika rekan-rekan aktivis bergerak, terjadi penolakan atau argumentasi di media mengkoreksi pergerakan rekan-rekan aktivis di sosmed oleh yang mengaku atas nama aktivis atau akademisi, sudah dipastikan yang bersangkitan juga adalah bagian dari penerima manfaat pada lingkaran mafia anggaran tersebut.

Perbanyak simpul-simpul diskusi dan kajian atas tema dan materi ini, sampaikan analisa, kajian dan observasi ini kehadapan publik melalui sosial media. Diharapkan dengan cara-cara seperti ini para mafia anggaran yang berlindung atas nama jabatan mulai mengerem tindakan-tindakan mereka yang selalu merugikan rakyat dan Negara.

Ingat! Saat ini Negara sedang dalam masa keprihatinan dalam kondisi keuangan Negara yang sedang tidak baik-baik saja, efesiensi keuangan saat ini sedang diilakukan. Uang rakyat harus kembali ke rakyat, bukan ke kantong pejabat rakus! Jika kasus ini tidak dituntaskan, maka jangan salahkan jika rakyat turun ke jalan dan menggulingkan pejabat-pejabat yang korup..!!!

OLEH : KAMALUDIN, SE (AKTIVIS PEMERHATI KEBIJAKAN PUBLIK DAN POLITIK)

Keterlibatan Oknum Anggota DPRD Banten Dalam Proyek Pokir Harus Juga Menjadi Atensi Hukum

By On Selasa, Maret 11, 2025



Banten, KabarViral79.Com - Dinas Perhubungan (Dishub) Banten diduga telah menghambur-hamburkan uang rakyat melalui proyek Sarana Angkutan Umum Massal (SAUM) yang sejak 2018 hingga 2024 tidak memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. Proyek bernilai Rp 16,5 miliar lebih ini diduga hanya menjadi ajang pemborosan anggaran, bahkan berpotensi kuat sebagai lahan bancakan para koruptor. Namun, hingga saat ini, tidak ada langkah serius dari aparat penegak hukum, khususnya Kejati Banten, untuk mengusut tuntas skandal ini.

Kami menegaskan, Kejati Banten tidak boleh tinggal diam dan harus segera bertindak tegas! Jika tidak, maka Kejati Banten akan dicap sebagai institusi yang hanya tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Rakyat Banten tidak butuh institusi penegak hukum yang hanya sekadar formalitas, tetapi butuh keberanian untuk menindak pelaku korupsi yang telah menggerogoti uang negara!

Bukti-bukti yang disampaikan oleh DPW Solidaritas Merah Putih (SOLMET) Banten dalam laporan mereka ke Kejati Banten sudah sangat jelas dan terang benderang. Bus yang tidak beroperasi, halte yang dibangun di titik yang sama setiap tahun, hingga miliaran rupiah anggaran yang digelontorkan untuk jasa konsultasi tanpa hasil yang jelas—semuanya adalah bentuk dugaan penyalahgunaan anggaran yang tidak bisa ditoleransi!

Selain itu, indikasi keterlibatan oknum anggota DPRD Banten dalam proyek di Dishub Banten ini juga tidak bisa diabaikan. Program yang tertuang dalam Pokok-Pokok Pikiran (Pokir) mereka diduga kuat menjadi pintu masuk permainan standar ganda dalam pelaksanaan proyek ini, terutama dalam hal penunjukan pihak ketiga. Dengan nilai miliaran rupiah, ada dugaan kuat bahwa proses ini sarat kepentingan, bukan demi kesejahteraan masyarakat, melainkan untuk keuntungan pribadi maupun kelompok tertentu. Jika benar ada keterlibatan oknum DPRD dalam skandal ini, maka Kejati Banten juga harus segera bertindak tegas! Tidak boleh ada impunitas bagi mereka yang menyalahgunakan jabatannya untuk merampok uang rakyat!

Gubernur Banten juga tidak boleh pura-pura tidak tahu dan lepas tangan! Sudah terlalu lama masyarakat Banten dirugikan oleh kebijakan yang tidak becus dan sarat dengan dugaan korupsi. Tri Nurtopo sebagai Kepala Dinas Perhubungan Banten jelas-jelas telah gagal total dalam menjalankan tugasnya! Jika Gubernur Banten masih membiarkan orang seperti ini bercokol di jabatannya, maka patut dipertanyakan apakah ada kepentingan tersembunyi di balik pembiaran ini!

Gubernur Banten harus segera mencopot Tri Nurtopo dari jabatannya sebagai Kadishub Banten! Tidak ada alasan untuk mempertahankan seorang pejabat yang diduga terlibat dalam pemborosan uang rakyat dan mempermainkan anggaran negara. Jika Gubernur Banten tidak segera bertindak, maka itu adalah bentuk pengkhianatan terhadap rakyat yang telah memilihnya! Jangan sampai masyarakat menilai bahwa Gubernur ikut menikmati hasil dugaan korupsi ini dengan cara melindungi pejabat yang bermasalah!

Kami tidak akan tinggal diam! Jika dalam waktu dekat Tri Nurtopo tidak dicopot, maka kami akan menuntut pertanggungjawaban Gubernur Banten! Jangan sampai gelombang aksi besar terjadi di Banten hanya karena pemimpin daerah lebih memilih melindungi kroni-kroninya daripada membela kepentingan rakyat! Gubernur harus menunjukkan keberpihakan kepada rakyat dengan membersihkan pejabat-pejabat busuk di lingkarannya!

Jika Kejati Banten serius dalam penegakan hukum, maka:

1. Pejabat-pejabat Dishub Banten yang bertanggung jawab dalam proyek SAUM harus segera diperiksa!

2. Aliran dana proyek ini harus ditelusuri, jangan sampai ada uang rakyat yang berakhir di kantong pejabat dan kroni-kroninya!

3. Setiap pihak yang terlibat harus diseret ke meja hijau, tanpa pandang bulu!

KEJATI BANTEN HARUS MEMBUKTIKAN INTEGRITASNYA!

Peringatan dari Jaksa Agung ST Burhanuddin sangat jelas: Tidak ada toleransi bagi aparat Kejaksaan yang bermain proyek atau melakukan intervensi yang tidak seharusnya! Jika Kejati Banten tidak segera menindaklanjuti laporan ini, maka patut dipertanyakan, apakah ada pihak di dalam institusi hukum yang bermain mata dengan Dishub Banten?

Kepercayaan publik terhadap Kejaksaan saat ini berada di puncaknya dengan tingkat kepercayaan 77%, namun jika kasus ini dibiarkan menguap tanpa kejelasan, maka reputasi Kejati Banten akan hancur! Jangan sampai Kejati hanya sibuk dengan kasus-kasus kecil, tetapi membiarkan dugaan korupsi miliaran rupiah di depan mata tanpa tindakan!

Kami, sebagai bagian dari masyarakat sipil, tidak akan tinggal diam. Jika dalam waktu dekat tidak ada langkah nyata dari Kejati Banten, maka kami akan terus mengawal kasus ini dengan aksi yang lebih besar! Kejati Banten harus membuktikan bahwa mereka bekerja untuk rakyat, bukan melindungi kepentingan segelintir elit koruptor!

Jangan Biarkan Dishub Banten Leluasa Menghabiskan Uang Rakyat! Usut, Tangkap, Adili Para Koruptor!

Oleh : Kamaludin, SE (Aktivis, Pengamat Politik dan Kebijakan Publik)