![]() |
| Potret warga pedalaman Bener Meriah, Acèh Tangah, saat melintas di jalan. Mereka masih beharap bantuan, karena sejauh ini akses jalan masih terisolir. |
BIREUEN, KabarViral79.Com - Lumpur masih mengering di jalan-jalan desa ketika warga Aceh kembali memikul beban yang tak seharusnya mereka tanggung sendiri.
Banjir bandang yang melanda sejumlah wilayah di Tanah Rencong bukan hanya merobohkan rumah, memutus jembatan, dan menenggelamkan kebun.
Ia juga membuka luka lama: negara yang kerap datang terlambat, sementara warga dipaksa bertahan dengan tenaga dan solidaritas sendiri.
Di pedalaman Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, hingga Aceh Tamiang, kehidupan pasca-bencana berjalan dalam sunyi. Tak ada deru kendaraan bantuan. Tak ada antrean logistik yang memadai. Yang terdengar hanya langkah kaki menembus lumpur, menyusuri jalur darurat yang licin dan rawan putus kapan saja.
Pegawai kantoran, petani kopi, relawan, hingga ibu rumah tangga berjalan beriringan. Di punggung mereka, beras, telur, BBM, bahkan tabung gas elpiji dipanggul bergantian. Bantuan negara, jika pun ada, sering berhenti di jalan besar atau pusat kecamatan. Dari titik itu, warga pedalaman harus “menjemput nasib” mereka sendiri.
"Kalau menunggu bantuan, kami bisa kelaparan," ujar Armansyah, warga pedalaman Aceh Tengah.
Ia mengaku bersama warga lain berjalan lebih dari 10 kilometer demi mendapatkan bahan pangan. Jalan rusak, jembatan putus, dan tidak ada jalur alternatif yang disiapkan sejak awal.
![]() |
| Potret warga pedalaman Bener Meriah, Acèh Tangah, saat melintas di jalan. Mereka masih beharap bantuan, karena sejauh ini akses jalan masih terisolir. |
"Kami merasa seperti bukan bagian dari laporan," katanya lirih.
Narasi resmi menyebut bantuan telah disalurkan. Namun di lapangan, cerita berbeda terhampar. Warga masih patungan membeli beras dengan harga tinggi. Jatah makan dipangkas. Sisa hasil kebun dijual sekadarnya, meski akses distribusi nyaris lumpuh total.
Di Bener Meriah dan Gayo Lues, petani kopi menjadi korban berlapis. Banjir merusak lahan, sementara jalur keluar-masuk terputus. Hasil kebun tak bisa dijual, kebutuhan pokok masuk dengan harga berlipat.
Meski demikian, sebagian petani tetap memikul karung kopi dan sayur ke kota—sebuah perjalanan yang menguras tenaga dengan imbalan yang tak sebanding.
"Ini bukan cuma soal banjir," kata M. Azis, relawan lokal yang sejak hari pertama turun ke lokasi terdampak.
"Ini soal penanganan yang lamban dan tidak sesuai kondisi di lapangan."
Menurut Azis, laporan di atas kertas sering kali tak mencerminkan realitas.
"Di laporan, bantuan disebut sudah disalurkan. Faktanya, masih banyak warga yang belum menerima apa-apa," ujarnya.
"Relawan justru yang lebih dulu sampai, pakai motor trail atau jalan kaki. Negara datang belakangan," cetusnya.
![]() |
| Potret warga pedalaman Bener Meriah, Acèh Tangah, saat melintas di jalan. Mereka masih beharap bantuan, karena sejauh ini akses jalan masih terisolir. |
Azis menuturkan, di beberapa titik warga terpaksa membeli BBM dan beras secara patungan dengan harga mahal karena jalur logistik terputus. Pada saat yang sama, sumber penghidupan mereka ikut mati.
"Kami ini korban dua kali. Pertama karena banjir, kedua karena lambannya penanganan," tegasnya.
Dampak banjir bandang juga menjalar ke wilayah pesisir dan perkotaan. Di Bireuen, Aceh Utara, dan Pidie Jaya, sekolah-sekolah rusak dan fasilitas publik lumpuh. Berminggu-minggu pasca-banjir, lumpur masih mengendap di ruang kelas.
Anak-anak belajar dalam kondisi darurat, sementara orang tua sibuk membersihkan sisa bencana dari rumah mereka. Pemulihan berjalan lambat, seolah tak ada skema tanggap darurat yang benar-benar siap dijalankan.
Kondisi paling mengkhawatirkan terjadi di Aceh Tamiang. Sejumlah desa masih terisolasi. Air bersih terbatas. Bantuan belum menjangkau seluruh warga. Jalur evakuasi darurat rawan terputus kembali jika hujan turun.
"Kalau hujan turun lagi, kami benar-benar terputus. Tidak ada rencana cadangan. Semua seperti menunggu cuaca membaik," kata Azis.
Banjir bandang ini kembali menegaskan bahwa bencana di Aceh bukan sekadar soal curah hujan ekstrem. Deforestasi, alih fungsi lahan, pendangkalan sungai, dan lemahnya pengawasan lingkungan menjadi rangkaian sebab yang jarang disentuh serius dalam evaluasi pasca-bencana. Padahal, peta rawan bencana tersedia dan anggaran penanggulangan terus digelontorkan setiap tahun.
Namun pola penanganan nyaris tak berubah: reaktif, parsial, dan sangat bergantung pada solidaritas warga. Ketika gotong royong menjadi tulang punggung utama, itu pertanda negara belum sepenuhnya hadir di saat paling genting.
Warga Aceh telah terbiasa bertahan. Mereka saling bantu, saling angkat, dan saling menguatkan.
"Kami bersyukur masih bisa saling bantu," kata Armansyah pelan.
Namun bertahan bukanlah solusi jangka panjang. Lumpur di jalanan mungkin akan mengering, jembatan darurat mungkin akan dibangun, dan laporan resmi akan ditutup.
Tapi pertanyaan yang tertinggal di benak warga tetap sama: apakah tragedi ini akan kembali terulang dengan skenario serupa—warga berjalan kaki menembus lumpur, bantuan tertahan di jalan besar, dan negara kembali datang terlambat?. (Joniful Bahri)


