Banten, KabarViral79.Com - Setiap 1 Mei, kita diajak merayakan Hari Buruh Internasional. Tapi bagaimana mungkin kami merayakan, ketika hingga hari ini, 14 buruh masih menjadi tersangka pasca aksi damai di Jakarta? Alih-alih merdeka bersuara, mereka justru ditarik ke ruang-ruang hukum yang membuat demokrasi tampak seperti hiasan kosong.
Penetapan 14 buruh sebagai tersangka usai aksi damai memperingati Hari Buruh Internasional (May Day) di depan Gedung DPR/MPR Jakarta pada 1 Mei 2025 menuai kecaman luas.
Aksi damai. Bukan perusakan. Bukan kekerasan. Tapi hingga hari ini, mereka harus berhadapan dengan proses hukum yang panjang dan mengintimidasi. Negara kembali menunjukkan wajahnya yang represif terhadap suara rakyat.
Sebagai mahasiswa, saya merasa terpanggil menyuarakan ketidakadilan ini. Aksi yang dilakukan oleh para buruh adalah bentuk penyampaian pendapat yang sah dan dijamin oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998. Namun nyatanya, suara mereka dibungkam dengan ancaman pidana.
Alih-alih berdialog, negara memilih represif. Penetapan tersangka terhadap para buruh menunjukkan wajah hukum yang tidak netral. Hal ini sejalan dengan pernyataan Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) yang menyebut proses hukum ini sebagai bentuk kriminalisasi kebebasan berpendapat.
Penetapan 14 buruh sebagai tersangka menciptakan ketakutan baru di tengah publik, terutama bagi kelompok-kelompok masyarakat yang hendak menyampaikan kritik atau aspirasi. Jika praktik seperti ini terus dibiarkan, maka ia akan menjadi preseden yang membahayakan masa depan demokrasi di Indonesia.
Harus ada langkah nyata untuk mencabut semua tuduhan yang menyesatkan ini dan menghentikan praktek serupa di masa mendatang. Kita semua, mahasiswa, pekerja, hingga rakyat biasa, wajib bersolidaritas agar suara buruh bukan sekadar slogan, dan agar hari buruh yang kita rayakan kelak benar-benar bermakna.
Karena diam adalah pengkhianatan, dan keberanian dimulai dari suara yang tidak disenyapkan.
Oleh: Siti Saffa Al-Diya, Mahasiswa Administrasi Publik Untirta