-->

Berita Terbaru

Subscribe Here!

Enter your email address. It;s free!

Delivered by FeedBurner

Rayakan Keberagaman Budaya: 35th Shanghai Tourism Festival Tampilkan Kebudayaan Lokal dan Internasional

By On Selasa, Oktober 08, 2024


SHANGHAI, KabarViral79.Com – 35th Shanghai Tourism Festival ("Festival") resmi dibuka pada 14 September dengan pertunjukan langsung dan pawai akbar di Nanjing Road Pedestrian Mall, melibatkan para atlet Olimpiade dan seniman dari dalam dan luar negeri yang merayakan kebudayaan internasional.

Festival yang berlangsung hingga 6 Oktober ini mewujudkan pengalaman berkesan dan perjalanan unik bagi warga lokal dan wisatawan internasional.

Di sesi pembukaan, keberagaman budaya dipertunjukkan 25 tim asal Asia, Eropa, Amerika, dan Oseania. Setiap tim menumpangi sebuah perahu menarik.

Memeriahkan suasana festival ini, para atlet Olimpiade dari Shanghai, termasuk atlet Olimpiade Paris 2024, Tan Haiyang, bergabung bersama penyanyi dan penari dalam pertunjukan pembuka yang bertajuk "Igniting, Joyful City".

Mencakup 100 kegiatan, memamerkan 1.000 produk, serta diikuti 10 ribu pelaku bisnis, Festival ini mengusung tema "Visiting Shanghai", memiliki jenis acara yang beraneka ragam, seperti "Sleepless Nights of Fun," "Waterfront Adventures," "Urban Charm", serta sejumlah pameran.

Dengan demikian, berbagai orang dapat mengeksplorasi kemajemukan budaya melalui sesi acara "Great Art of Dunhuang" dan "Exhibition On Top of the Pyramid: The Civilization of Ancient Egypt."

Setiap distrik di Shanghai juga menampilkan tema unik, seperti berjelajah di kota tua, tur sungai, serta festival kuliner, guna menampilkan kemajemukan budaya.

Lebih lagi, bus tingkat kian meningkatkan pengalaman tersebut dengan pameran digital immersion VR "Eternal Notre-Dame" yang menghadirkan pengalaman menarik.

Lebih lagi, tujuh sesi CityWalk akan ditawarkan kepada para pengunjung, dan setiap sesi menampilkan keunikan budaya perkotaan di Shanghai.

Program promosi khusus turut dilansir di Shanghai untuk festival tersebut, termasuk harga tiket dengan diskon 50 persen di 62 atraksi, diskon eksklusif dalam periode terbatas untuk pameran "The Great Art of Dunhuang" oleh Chunqiu Tourism, diskon 50 persen untuk tiket "Pude Light City" oleh SAGA, dan lain sebagainya.

Di sisi lain, Trip.com telah memperbarui rute tur gratis bagi wisatawan asing, serta berkolaborasi dengan lebih dari 200 merek di 20 negara di seluruh dunia untuk menawarkan program spesial yang mencakup hotel, bandara, dan tiket atraksi terkenal.

Greenland Group juga berkolaborasi dengan Expedia untuk meluncurkan fasilitas eksklusif, termasuk tiket pameran gratis.

Lebih dari 20 gerai baru telah dibuka di Global Harbor Mall selama Festival berlangsung, sedangkan Jiushi Tourism akan meluncurkan rangkaian program promosi di sektor olahraga dan wisata, bertepatan dengan Shanghai Rolex Masters 2024.

“Dalam beberapa tahun terakhir, Festival ini telah menjadi simbol Shanghai, serta membangun reputasi kota ini sebagai destinasi ternama dunia. Festival ini juga menyediakan kesempatan bagi wisatawan di seluruh dunia yang ingin menikmati pemandangan indah, kuliner lezat, serta produk khas Shanghai sekaligus belajar tentang Tiongkok dan warisan budayanya,” ujar Cheng Meihong, Deputy Director General, Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Pemerintah Kota Shanghai.


Sumber: PRNewswire

Memetri: Pameran Unik Gabungkan Seni, Budaya, dan Kearifan Lokal untuk Menjawab Ancaman Krisis Iklim

By On Selasa, Oktober 08, 2024


Pameran "Memetri" siap mengguncang Yogyakarta dengan perpaduan seni, budaya, dan kearifan lokal. Melalui kolaborasi komunitas dan seniman, acara ini mengajak pengunjung untuk melihat bagaimana solusi masa depan bisa terinspirasi dari tradisi nenek moyang.

YOGYAKARTA, KabarViral79.Com – Pameran bertajuk "Memetri" di Gelanggang Inovasi dan Kreativitas Universitas Gadjah Mada (UGM) segera digelar dari tanggal 8 - 19 Oktober 2024.

Pemeran ini menghadirkan perpaduan antara seni, budaya, dan kearifan lokal dalam menyikapi krisis iklim. Diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Habitat Dunia dan Hari Kota Dunia, acara ini mengangkat tema besar "Jaga Iklim, Jaga Masa Depan".

Pameran ini menjadi wadah kolaborasi antara seniman-seniman ARTJOG, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), pegiat lingkunga, dan 13 komunitas, untuk membagikan pengalaman dan gagasan tentang pemeliharaan lingkungan berbasis budaya lokal.

Kurator pameran, Yoshi Fajar Kresno Murti mengatakan, "Memetri" berasal dari bahasa Jawa Kuno yang berarti memelihara, memuliakan, dan menghormati. 

Pameran Memetri terinspirasi oleh tantangan iklim yang semakin mendesak akibat pola hidup modern yang mengesampingkan harmoni dengan alam.

“Semua sektor kehidupan terpengaruh oleh perubahan iklim, dari siklus pertanian hingga perdagangan,” ujar Yoshi.

Menurutnya, untuk memitigasi dampak krisis iklim, kita perlu mengembalikan pola pikir "memetri," yaitu menjaga alam dengan kearifan yang diwariskan nenek moyang.

Konsep "telatah, mongso, bantala" (wilayah, siklus waktu, dan tanah) yang diusung dalam pameran menggambarkan keterkaitan antara manusia, alam, dan siklus kehidupan.

Pameran ini menjadi refleksi tentang bagaimana pengetahuan masa lalu dapat dijadikan panduan dalam menghadapi perubahan iklim yang semakin ekstrem.

Dua diantara 13 Komunitas yang akan berpartisipasi di Pameran Memetri adalah Komunitas Wana Nagara dan Komunitas Kalibiru. Kedua komunitas memusatkan aktifitasnya di Yogyakarta.

Komunitas Wana Nagara: Hutan Kota sebagai Solusi Perkotaan

Kurniawan Adi Saputro, biasa disapa Inong, pendiri Komunitas Wana Nagara, menyoroti peran penting ruang terbuka hijau dalam mitigasi krisis iklim, khususnya di wilayah perkotaan seperti Yogyakarta.

Menurut Inong, kondisi kota yang didominasi oleh bangunan beton memperparah efek pemanasan global, terutama dalam hal suhu permukaan yang tinggi.

“Kami membayangkan kota yang benar-benar hijau, di mana ruang terbuka hijau tidak sekadar tempat bermain yang bersemen, melainkan ruang yang alami dengan vegetasi yang tumbuh bebas," tuturnya.

Inong dan komunitasnya telah memulai inisiatif penanaman hutan kota di daerah Pugeran, Yogyakarta, untuk mengurangi tingginya suhu permukaan dan menjaga ekosistem.

Mereka berupaya mewujudkan kota yang lebih ramah lingkungan dengan memperkenalkan konsep ‘hutan kota” yang nantinya bisa berkembang menjadi “kota hutan”.

Melalui pameran Memetri, Komunitas Wana Nagara juga akan mengadakan tur keliling kampus UGM untuk mengenalkan pengunjung pada jenis-jenis pohon lokal yang berperan penting dalam pengendalian suhu dan penyimpanan air.

Kalibiru: Ekowisata dan Konservasi untuk Masa Depan

Sementara itu, Nangsir Ahmadi, perintis wisata alam di Kalibiru, Kulon Progo, membawa pesan kuat tentang bagaimana ekowisata dapat menjadi solusi praktis dalam menjaga kelestarian hutan sekaligus meningkatkan ekonomi masyarakat.

“Jika masyarakat tidak mendapatkan manfaat dari hutan, hutan tersebut akan rusak," ujarnya.

Nangsir merintis wisata alam Kalibiru bersama empat orang rekannya, yaitu Parjan, Sukidal, Sudadi, dan Kamijan (almarhum).


Ia menjelaskan bagaimana Kalibiru, yang dulunya merupakan kawasan yang hutannya terancam rusak, kini berubah menjadi destinasi ekowisata yang rindang dan mampu menekan tingkat erosi serta memperbaiki kualitas udara.

Salah satu inovasi yang diusung oleh komunitas Kalibiru adalah teknik "infus bambu" untuk menjaga tanaman tetap hidup di musim kemarau.

Teknik ini menggunakan bambu sebagai media penetesan air secara alami, tanpa plastik, sebuah pendekatan ramah lingkungan yang terinspirasi oleh kearifan lokal.

Di pameran Memetri, Komunitas Kalibiru akan memamerkan inovasi ekowisata dan teknik konservasi, termasuk metode infus bambu yang mereka terapkan sejak tahun 2005.

Meskipun sederhana, inovasi ini menjadi contoh nyata bagaimana masyarakat bisa beradaptasi dengan perubahan iklim sekaligus menjaga kelestarian hutan.

13 Komunitas, 1 Tujuan: Jaga Iklim untuk Masa Depan

Selain Wana Nagara dan Kalibiru, pameran ini juga melibatkan 11 komunitas lain dari berbagai daerah di Indonesia, yang masing-masing membawa solusi lokal untuk menghadapi tantangan perubahan iklim.

Komunitas-komunitas ini tidak hanya memperlihatkan karya seni, tetapi juga gagasan dan praktik yang sudah mereka terapkan di lapangan. 

Yoshi menekankan bahwa pameran ini bukan sekadar ruang artistik, tetapi juga medium edukatif bagi masyarakat.

“Ini adalah kesempatan bagi kita untuk belajar dari praktik nyata yang dilakukan oleh komunitas-komunitas di seluruh Indonesia,” katanya.

Melalui presentasi yang estetis dan interaktif, pameran ini menawarkan cara baru dalam berpikir dan bertindak terhadap pelestarian alam.

Penanaman pohon, pengelolaan air, hingga cara menjaga keanekaragaman hayati akan dipaparkan melalui karya-karya visual yang mengajak pengunjung untuk terlibat dan bertanya langsung kepada komunitas-komunitas tersebut.

Belajar dari Masa Lalu untuk Masa Depan yang Berkelanjutan

Yoshi menekankan pentingnya belajar dari pusaka dan tradisi lokal dalam menghadapi tantangan modern seperti krisis iklim.

“Untuk menjaga kelestarian lingkungan, kita harus mengandalkan pengetahuan dari masa lalu dan menerapkannya dalam konteks kekinian,” ujarnya.

Pengetahuan ini, lanjut Yoshi, mencakup teknik-teknik konservasi air, penanaman pohon, serta cara masyarakat lokal berinteraksi dengan alam tanpa merusaknya .

Dengan menghadirkan pameran yang bersifat dialogis dan interaktif, Memetri berupaya menggugah kesadaran publik tentang pentingnya menjaga lingkungan.

Komunitas-komunitas yang terlibat membawa pesan bahwa solusi terhadap perubahan iklim dapat ditemukan melalui kolaborasi antara tradisi dan inovasi.

Dalam konteks krisis iklim yang semakin mengkhawatirkan, pameran Memetri diharapkan dapat menginspirasi masyarakat untuk tidak hanya berfikir, tetapi juga bertindak.

Krisis ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau institusi tertentu, tetapi merupakan tanggung jawab kolektif.

Seperti yang dicontohkan Komunitas Wana Nagara dan Kalibiru, dengan kearifan lokalnya, menunjukkan bahwa solusi iklim sering kali dapat ditemukan di sekitar kita dalam praktik-praktik yang sederhana namun berdampak besar bagi masa depan. 

Dengan demikian, pameran Memetri menjadi momentum penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa upaya menjaga lingkungan bukanlah tugas yang tidak terjangkau.

Sebaliknya, melalui praktik-praktik kecil dan kesadaran kolektif, kita dapat berkontribusi dalam menjaga bumi ini tetap layak dihuni bagi generasi mendatang.

Yoshi, Inong, dan Nangsir sependapat bahwa Pameran Memetri bukan sekadar pameran seni. Ini adalah ruang dialog antara masa lalu, masa kini, dan masa depan.

Sebuah ajakan bagi kita semua untuk memikirkan ulang hubungan kita dengan alam dan bagaimana kita dapat memelihara apa yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita. 

Krisis iklim mungkin tampak menakutkan, tetapi solusi-solusi sederhana dan kearifan lokal yang diusung oleh komunitas-komunitas ini memberikan harapan nyata untuk masa depan yang lebih baik.

Informasi seputar Pameran Memetri bisa disimak di akun instagram @habitat.ina.  (*/red)